Oleh : AHMAD BARJIE B
Kedatangan Islam selain meluruskan akidah dan ibadah yang menyimpang juga untuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak atau budi pekerti sangat luas ruang lingkupnya. Dalam Islam ada yang disebut dengan akhlak mulia (akhlaqul karimah) untuk dimiliki, dan ada akhlak tercela (akhlaqul mazmumah) untuk dijauhi. Pendidikan akhlak/karakter, baik yang tergolong karakter moral maupun karakter kinerja sangat penting untuk ditanamkan dalam semua aspek kehidupan.
Rasulullah SAW menjelang wafatnya banyak memberi nasihat atau wasiat kepada para sahabat, yang tentunya sekaligus nasihat untuk kita semua sebagai umat beliau. Kepada Ali bin Abi Thalib, beliau memberi nasihat diantaranya:
Hai Ali, tidak ada kefakiran yang lebih hebat daripada kebodohan; Tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal; Tidak ada kesepian yang lebih sunyi daripada ujub (kagum kepada diri sendiri); Tidak ada kekuatan yang lebih kuat daripada musyawarah; Tidak ada iman yang lebih dekat daripada keyakinan; Tidak ada wara’ yang lebih baik daripada menahan diri; Tidak ada keindahan seindah budi pekerti; Tidak ada ibadah yang melebihi tafakkur; Hai Ali, segala sesuatu itu ada penyakitnya: Penyakit bicara adalah bohong; Penyakit ilmu adalah lupa; Penyakit ibadah adalah riya; Penyakit budi pekerti adalah memuji diri; Penyakti berani adalah agresif; Penyakit pemurah adalah menyebut-nyebut pemberian; Penyakit cantik adalah sombong; Penyakit mulia adalah menonjolkan diri; Penyakit kaya adalah kikir; Penyakti royal adalah berlebih-lebihan, dan Penyakit agama adalah hawa nafsu. (Firdaus AN, 2002: 28).
Menurut Hamka (2010: 30), akhlak mulia berisi kumpulan sifat yang terpuji yang harus melekat pada diri setiap muslim/mukmin, sehingga menjadi orang yang berbudi pekerti baik atau luhur dan memiliki karakter yang baik pula. Di antara akhlak terpuji adalah shiddiq (benar atau jujur), al-amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan atau terbuka), fathanah (cerdas dan cakap), istiqamah (teguh pendirian), ikhlas berbuat atau beramal, syukur (menerima baik), sabar (teguh), iffah (sikap perwira, berani mempertahankan kebenaran), tawadhu’ (rendah hati/tidak sombong), hikmah (bijaksana), tasamuh (toleransi), lapang dada, adil, qana’ah, intiqad atau mawas diri, al-afwu atau pemaaf, anisatun atau bermuka manis, khusyu’ atau tenang dalam beribadah, wara’ (sikap batin yang tertanam dalam jiwa yang selalu menjaga dan waspada dari segala bentuk perbuatan yang mungkin mendatangkan dosa baik itu dosa kecil atau dosa besar, belas kasihan, ta’awun atau tolong menolong, tadharru atau rendah hati, shalihah (shaleh), sakhaa’
(pemurah), nazhif (bersih), ihsan (selalu berbuat baik), haya’ (malu), uswatun hasanah (teladan yang baik), hifzhu al-lisan (menjaga lisan) dan hub al-wathan (cinta tanah air).
Adapun akhlak tercela adalah semua sifat, tabiat dan tingkah laku yang berbeda atau berlawanan, bahkan bertentangan dengan akhlak mulia di atas. Di antara jenis akhlak tercela yaitu dusta (bohong), khiyanat (menyia-nyiakan kepercayaan), hasad (dengki), iri hati, al-riya (puji diri), takabbur (sombong), al-tabdzir (boros), al-bukhlu (kikir), al-dzulmu (aniaya), ceroboh, ananiyah (egois), al-baghyu (suka melawan), al-buhtaan (bohong), ingkar janji, al-kamru, al-jubnu (pengecut), al-fawahisy (suka berbuat dosa besar), saksi palsu, fitnah, al-israf (hidup berlebih-lebihan), al-liwathah (hubungan seksual tidak normal), al-namimah (adu domba), al-kufran (kekufuran), qatlun nafs (menghilangkan jiwa), al-riba (pemakan riba), al-sikhriyah (berolok-olok), tanabazu bil al-qad (memberi gelaran yang tidak benar atau berlebihan), dan al-syakhwat (mengikuti hawa nafsu). (Hamka, 2010: 31).
Di antara akhlak terpuji yang perlu sekali ditanamkan adalah sifat benar, jujur, karena dari sini akan muncul kebaikan, kemaslahatan, keselamatan dan kebahagiaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dan di antara akhlak tercela yang perlu dijauhi adalah dusta, bohong, karena dari sini akan muncul keburukan, kebejatan, kedurhakaan, kesengsaraan, kemunafikan, permusuhan dan perselisihan. Meskipun orang semakin pandai menutup kebohongannya, namun lama kelamaan akan terbongkar juga. Pakar hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy (6 Juni 1932 – 21 September 2021), mengatakan “walaupun kebohongan itu lari secepat kilat, suatu waktu kebenaran akan mengalahkannya”. Kehidupan dan keberhasilan dalam hidup ini harus berbasis kepada kejujuran, jangan berdusta, sebab sekali berdusta, sulitlah untuk membangun kepercayaan. Peribahasa Melayu mengatakan, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya.
Menurut Guru Ahmad Bakhiet dalam satu ceramahnya, orang yang berakhlak terpuji termasuk yang disayangi Allah. Ciri-cirinya adalah: orang berilmu yang taat beribadah (‘alimun ‘abid), pemurah (sakhiyun), pemaaf, tidak melestarikan satu perbuatan maksiat, sedikit bicara (qalilul kalam).
Kalau dijelaskan lebih jauh, orang yang banyak ilmu tapi tidak taat beragama atau tidak mengamalkan ilmunya berarti tidak dikasihi Allah. Dapat kita contohkan, misalnya orang yang gelar kesarjanaannya tinggi tapi malas shalat dan sebagainya. Orang yang bakhil, kikir, juga tidak termasuk yang dikasihi Allah, walaupun ia berilmu. Begitu juga orang yang pemarah, pendendam. Melestarikan satu perbuatan maksiat, misalnya suka menonton pornografi dan pornoaksi secara terus menerus tanpa henti, suka minum minuman keras, riba, korupsi dan sebagainya. Kalau orang ingin dikasihi Allah, maka ia harus berhenti melakukannya. Kemudian sedikit bicara, artinya bicara seperlunya, yang penting saja, tidak bicara yang sia-sia, apalagi kalau sampai menggibah, memfitnah, mengadu-domba dan sejenisnya.