Oleh : Iffah Nudiya
Pemerhati Sosial
Sampai hari ini dunia masih dicemaskan dengan wabah virus yang sudah sejak Maret 2020 lalu sudah ditetapkan sebagai pandemi. Wabah Covid-19 merupakan wabah penyakit terutama saluran napas yang disebabkan oleh virus Corona jenis baru (SARS-CoV-2). Serangan wabah oleh invisible soldiers ini merebak di Wuhan Cina sejak Desember 2019 dan dinyatakan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Sampai 2 Mei 2020, virus ini telah menimbulkan kengerian di 213 negara, dengan total kasus global sekitar 3.344.099 positif dan 238.663 kasus kematian. Di Indonesia sendiri tercatat 10.551 kasus positif dengan 800 kematian, di Kalimantan Selatan tercatat 179 kasus positif dengan 10 kasus kematian. Terkait upaya penanganan, DKI Jakarta sudah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) lebih dua pekan dengan target awal yang hanya dua pekan atau 14 hari, namun di nilai kebijakan tersebut masih jauh dari hasil yang diharapkan.
Sedangkan di Banjarmasin, hari kedua pelaksanaan PSBB terpantau tak ada pemeriksaan yang ketat oleh petugas. Terlihat Sabtu pagi di posko Sungai Lulut Banjarmasin Timur, kendaraan baik roda dua maupun roda empat dengan leluasa melintas area perbatasan tanpa adanya pemeriksaan dari petugas gabungan. Bahkan ironisnya, masih ada warga yang tetap berkendara secara berboncengan dan apa pula yang masih belum menggunakan masker. Padahal kawasan Sungai Lulut merupakan area perbatasan langsung antara Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar. (dutatv.com)
Definisi PSBB dan aturannya
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020, PSBB adalah suatu kegiatan tertentu di suatu wilayah yang dihinggapi oleh penyakit virus Corona 2019 (Covid-19) digunakan untuk mencegah perubahan yang terjadi.
Syarat daerah ajukan PSBB. Meski kasus infeksi virus corona sudah ditemukan di 34 provinsi di Indonesia, tidak semua daerah bisa mengajukan pemberlakuan PSBB. Ada syarat-syarat tertentu bagi sebuah daerah jika ingin mengimplementasikan kebijakan PSBB di wilayahnya. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal menyebutkan, ada beberapa persyaratan, yang jika semua terpenuhi maka akan menjadi pertimbangan Menteri Kesehatan untuk memberikan izin PSBB di wilayah tersebut. Syarat-syarat itu adalah mempersiapkan data pendukung yang diperlukan, misalnya peningkatan kasus berdasarkan waktu dan kurva epidemiologi Covid-19 di daerah lain yang berpengaruh signifikan terhadap infeksi di daerahnya.
Selain itu, Pemda yang ingin mengajukan PSBB juga diminta untuk menyiapkan peta penyebaran Covid-19 dan data kejadian transmisi virus yang bersifat lokal. Daerah juga diminta memberikan hasil pelacakan atas penyelidikan epidemiologi yang menyatakan ada penularan dari generasi kedua dan ketiga. Pertimbangan lainnya, pemda harus berhitung dan memastikan memiliki ketersediaan kebutuhan dasar hidup bagi warga. Sarana prasarana kesehatan seperti ketersediaan ruang isolasi, karantina, tempat tidur dan alat kesehatan lainnya seperti masker dan APD juga menjadi pertimbangan pemberlakukan PSBB. Terakhir, sesuai arahan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Pemda harus melakukan realokasi anggaran.
PSBB Bukti Rapuhnya Kapitalisme
Tingginya penyebaran wabah di Indonesia, disebabkan karena : pertama, Indoensia t erlambat sekitar 2,5 bulan. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid19 di bawah BNPB tanggal 13 Maret 2020 saat virus ini sudah menyerang 69 negara dengan lebih dari 89.000 kasus dan 3.000 kematian. Padahal banyak negara lain yang lebih responsif melakukan containment, seperti Taiwan, Papua Nugini, Korsel, dan Vietnam.
Kedua, tampak meremehkan dan mengabaikan. Ini bisa dicermati dari banyak pernyataan pejabat tinggi negara yang bisa kita akses beritanya. Di sisi lain peringatan-peringatan terkait wabah dari para ahli misalnya dari Universitas Harvard masyarakat tampak diabaikan. Pada saat yang sama, tenaga kerja asing dari Cina sebagai negara asal virus terus berdatangan ke Indonesia.
Ketiga, pemerintah tampak tidak fokus pada wabah. Berbagai kebijakan yang berjalan di masa wabah justru menunjukkan fokus yang berbeda, misalnya tetap mendorong investasi dan pariwisata, pembangunan ibukota negara baru, pembahasan RUU Omnibus Law Cilaka, ekspor APD ke berbagai negara di tengah kelangkaannya bagi tenaga kesehatan, dan penyediaan alat deteksi virus yang sangat kurang.
Keempat, sistem informasi (data dan sebaran kasus) yang kurang jelas dan kurang terbuka. Perkiraan IDI dan FKM Universitas Indonesia kasus kematian mencapai 2-4 kali lipat dari laporan resmi. Data dan sebaran ODP maupun PDP kurang jelas, sehingga awareness masyarakat juga kurang terbentuk. Kasus wabah ini menjadi fenomena gunung es di mana jumlah aslinya bisa mencapai 10 kali lipat yang terlaporkan.
Kelima, dana wabah minimalis, hanya Rp405,1 triliun. Ini pun masih dibagi lagi yang langsung untuk wabah sekitar Rp75 triliun saja. Kebijakan ini dibentengi oleh Perppu Nomor 1 tahun 2020. Dana ini tidak bisa disentuk BPK auditnya. Nominal dana wabah ini terbilang sangat kecil dibandingkan banyak negara lain.
Keenam, pembendungan wabah (containment) kurang agresif. Beberapa sisi ini bisa dilihat, misalnya edukasi publik yang kurang masif, tes masal (PCR ,rapid test) tidak tersedia, APD kosong sampai mengantarkan puluhan tenaga kesehatan meninggal dunia.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang isinya menjamin pemenuhan kebutuhan sehari-hari penduduk dan ternak di wilayah yang dikarantina, tidak dijalankan dan justru dibuat aturan baru PP Nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang diejawantahkan dalam Permenkes Nomor 9 tahun 2020 tentang PSBB, di mana yang mengusulkan PSBB adalah masing-masing daerah sesuai situasi wabah dan sesuai kemampuan finansial daerah, bukan lagi dari inisiatif dari pusat. PSBB menjadi kebijakan setengah-setengah dan antar daerah tidak serempak, akhirnya situasinya di lapangan lebih seperti blind war. Memilih menetapkan PSBB sebagai solusi rasional versi pemerintah setidaknya mengkonfirmasi beberapa hal yakni :
Pertama, lepas tangannya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Hal ini membuktikan watak asli penguasa sekuler yang tak pernah hadir saat rakyat membutuhkan mereka.
Kedua, rapuhnya tatanan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini telah berdampak pada tergadainya aset strategis negara kepada korporasi yang berakibat pada kemiskinan struktural dan langgengnya penjajahan di bidang ekonomi. Alhasil, ekonomi negeri ini rapuh dan tak mampu bertahan saat kondisi bencana.
Ketiga, status negara maju hanyalah status palsu yang tidak tampak dalam upaya penguasa memberikan penanganan wabah, memastikan kebutuhan dasar serta menopang pemenuhan darurat pelayanan kesehatan masyarakat di tengah wabah Covid-19.
Dan yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa seluruh negara di dunia ini, termasuk negara-negara maju, memprediksi pandemi ini bakal lama dan mereka kesulitan mengatasi wabah Covid-19? Jawabannya karena sistem kesehatan mereka tidak mempersiapkan diri untuk itu dan saat terjadi wabah tidak bertindak sebagaimana mestinya. Hal ini apabila dicermati memang merupakan konsekuensi alami dari negara dengan ideologi Kapitalisme, di mana negara akan berperan seminimal mungkin dalam urusan pemenuhan keperluan masyarakatnya, termasuk urusan kesehatan.