Oleh : Adzkia Mufidah, S.Pd
Pemerhati Masalah Sosial Kemasyaratan
Sejak dulu sampai sekarang, pernikahan dini memang marak terjadi di Indonesia. Lewat diskusi Pencegahan Perkawinan Anak secara daring, Senin (15/2/2021) disampaikan bahwa tercatat 22 provinsi yang memiliki pernikahan anak. Kalimantan Selatan menduduki posisi pertama sebagai provinsi yang paling banyak memiliki pernikahan di bawah usia 18 tahunr. Hal ini ditegaskan oleh Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA RI), Lenny Rosalin. Dia menjelaskan bahwa Kalsel menempati urutan pertama pada 2017 dan 2019. (Suara.com).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan tingginya angka pernikahan anak. Mulai dari melakukan kampanye-pelarangan pernikahan dini, membuat Undang-Undang dan peraturan terkait, hingga menindak tegas provokatornya, seperti yang terjadi pada situs Aisha Weddings. Karena dinilai mempromosikan menikah diusia muda (usia 12-20 tahun) agar terhindar dari perbuatan maksiat, kawin siri dan poligami, akhirnya bukan saja situsnya yang diblokir oleh Kemenkominfo, tapi pemiliknya pun dipolisikan. Pasalnya, apa yang dilakukan situs tersebut dianggap provokatif.
Contoh di atas menunjukkan betapa seriusnya pemerintah menangani pernikahan dini. Namun, tentu saja hal ini mengundang tanda tanya. Mengapa pemerintah begitu getol mengupayakan pencegahannya?
Sejatinya, pencegahan sekaligus pelarangan pernikahan dini ini selaras dengan agenda global yang digagas Barat, yakni untuk meredam pernikahan dini. Alasannya karena dianggap melanggar hak-hak anak, mendiskriminasi perempuan dan berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, pernikahan dini juga dianggap telah membawa kesulitan ekonomi, ketidak-harmonisan keluarga, KDRT hingga perceraian. Benarkah demikian?
Tentu saja tidak. Sebab realitasnya ada saja pasangan yang menikah diusia muda, dan keluarganya tetap harmonis. Kendati begitu, memang tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan dini bisa berakhir pahit, mana kala hal itu dilakukan tanpa persiapan yang benar. Persiapan tersebut antara lain; pengetahuan dan pemahaman utuh terhadap syariat Islam (hukum dan fikih) seputar pernikahan, juga tentang kesiapan calon pengantin dan ilmu yang mumpuni tentang kehidupan rumah tangga.
Karena itu, persoalannya bukan pada nikah dininya melainkan tidak siapnya anak dan gagalnya keluarga bahkan negara dalam menyiapkan anak yang siap menerima taklif/beban hukum-syariat dan tanggung jawab berkeluarga. Persoalan tersebut makin menjadi manakala adanya faktor pemicu. Karena itu, mestinya fokus tindakannya adalah menemukan dan mencabut akar persoalan yang memicu pernikahan dini atau yang menjadi penyebab ketidak-siapan anak menerima taklif.
Selama ini, maraknya pernikahan dini sering disebabkan oleh persoalan ekonomi atau kemiskinan. Ada juga karena rendahnya taraf pendidikan, sosial budaya, dan gaya hidup. Semua itu bermuara dari diterapkannya sistem kufur, kapitalis sekuler. Namun akhirrnya nikah dini menjadi kambing hitam sumber permasalahan dalam kehidupan berumah tangga.
Penerapan sistem tersebut telah memicu tidak meratanya distribusi kekayaan. Kekayaan hanya beredar pada golongan tertentu. Akibatnya makin melebar jurang kemiskinan di masyarakat. Karenanya pernikahan dini ini terkadang dilakukan dengan maksud memutus mata rantai kemiskinan tersebut. Maka orang tua berlomba untuk menikahkan anaknya diusia belia dengan orang kaya, demi meningkatkan kesejahteraan.
Tidak hanya sampai disitu, gaya hidup liberal yang diterapkan oleh sistem ini, hanya didominasi perbincangan dan pergaulan berbau syahwat, termasuk di kalangan anak-anak. Informasi masif tentang hal-hal berbau seksual dan kepornoan ini, akhirnya membangkitkan syahwat mereka. Hingga membuat mereka terjerumus dalam pelampiasan yang salah. Pacaran menjadi budaya. Zina pun akhirnya dianggap biasa. Sudah bukan rahasia lagi, sebagian pernikahan anak terjadi karena didahului hamil di luar nikah. Akhirnya, dorongan menikah kebanyakan anak-anak sekarang tidak lebih dari sekedar motif biologis.
Penerapan sistem kapitalis-sekuler juga telah menggeser orientasi sebagian masyarakat. Materi menjadi lebih utama dibanding ilmu. Jadilah pendidikan laksana kebutuhan pelengkap yang keberadaannya dianggap tidak begitu penting. Lebih-lebih pendidikan untuk anak perempuan.
Hal ini makin diperparah dengan kebijakan kapitalisasi pendidikan. Alhasil, pendidikan tinggi-berkualitas menjadi hal yang sangat sulit dijangkau oleh masyarakat. Banyak anak yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi atau bahkan terpaksa harus putus sekolah. Hal ini berdampak pada rendahnya taraf pendidikan sebagian masyarakat. Hal ini pula pada akhirnya memicu maraknya nikah anak. Karena dalam benak mereka tertanam ‘mau apalagi kalau tidak menikah. Toh, sekolah juga tidak bisa’.
Dengan demikian, jika ingin memutus mata rantai nikah anak, basmi dulu pemicunya, seperti kemiskinan, kebodohan dan gaya hidup liberal. Tentu saja hal tersebut mengharuskan kaum muslimin mencabut dan membuang sistem hidup kapitalisme-sekuler. Sebab inilah yang sejatinya menjadi akar persoalan. Sehingga menyebabkan munculnya kemiskinan struktural, gaya hidup liberal-hedonis dan penyebab terabaikannya hak-hak masyarakat (seperti hak pendidikan, kesehatan dan keamanan).
Yang terpenting, selain membuang sistem batil di atas, kaum muslimin juga harus menggantinya dengan sistem Islam yakni khilafah. Sebab, dengan sistem khilafah yang menerapkan syariah Allah SWT secara kaffah, akan mampu mengatasi kemiskinan dan mewujudkan hak-hak masyarakat termasuk hak anak.
Di samping itu, penerapan sistem Islam ini telah membuahkan realita dimana orang yang menikah adalah yang memang siap menikah. Berapapun usianya. Sedangkan yang belum siap menikah, dia juga tidak akan sulit untuk menjaga diri dan kesuciannya. Sungguh negara seperti ini, telah terbukti mampu mewujudkan kebaikan pada pernikahan dan rumah tangga kaum muslimin selama berabad-abad lamanya. Wallahua’lam.