Oleh : Noor Dewi Mudzalifah
Pegiat Literasi
Lagi-lagi terjadi kasus penelantaran anak di Kalimantan Selatan (Kalsel). Terbaru terjadi di Banjarbaru. Bayi berjenis kelamin perempuan, ditemukan di depan rumah seseorang di Jalan Kebun Durian RT 018 RW 003 Kelurahan Guntung Manggis Kota Banjarbaru, pada Rabu (12/4/2023) sekitar pukul 03.20 Wita. (Koranbanjar.net 12/04/2023)
Sepekan sebelum kasus ini, Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Banjarmasin Dr Tabiun Huda telah menyebut bahwa penelantaran bayi diduga disebabkan kekalutan orangtuanya. Karena rata-rata bayi yang ditelantarkan itu tidak diinginkan ayah ibunya. Oleh karena itu perlu tindak pencegahan. (Banjarmasin.co.id 06/04/2023)
DP3A Banjarmasin terus menyosialisasikan kepada siswa-siswi di sekolah mengenai pentingnya menjaga diri, kesehatan reproduksi (kespro), risiko hamil di usia masih remaja, serta ketidaksiapan secara fisik hingga ekonomi dan sosialnya. (Banjarmasinpost.co.id 06/04/2023)
Kian Rusak Karena Apa?
Sungguh miris melihat fakta yang ada. Kalsel yang terkenal dengan masyarakat yang masih kental keIslamannya, pondok pesantren ada di mana-mana dan rakyatnya terkenal cinta ulama. Namun justru mengalami peningkatan pada kasus yang hina, baik dilihat dari sisi kemanusiaan apalagi agama.
Lalu tidakkah kita bertanya-tanya, mengapa hal ini terjadi? Sahabat, mari sama-sama mencari jawabannya. Pertama, dari maraknya kasus ini semoga mulai memahami bahwa banyaknya individu yang faham agama, tahu halal haram dosa pahala, ternyata itu saja tidak cukup untuk mencegah kemaksiatan tetap berjaya. Kita perlu kontrol dari masyarakat dan yang tak kalah penting adalah kebijakan tegas dari negara.
Tapi bukankah masyarakat Kalsel gemar menasehati? Tentu, namun sayang tak jarang aktivitas kontrol itu masih sekedar amar makruf atau menyuruh kepada kebaikan. Seperti perbanyaklah dzikir, meminta air doa dari ulama, dan amalan lainnya.
Tentu itu baik, namun amar makruf saja tidaklah cukup tanpa dibersamai nahi mungkar atau melarang kemaksiatan berupa aktivitas saling menegur. Aktivitas ini berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Tentu semua dilakukan dengan cara yang baik, bil hikmah.
Aktivitas inilah yang masih sangat terbatas tidak hanya di Kalsel, tapi di berbagai wilayah. Namun sesungguhnya minimnya aktivitas kontrol ini, makin individulisnya diri, juga disebabkan oleh kebijakan yang ada pada suatu negeri.
Ada apa dengan kebijakannya? Bukankah saat ini aturan terkait perlindungan perempuan dan anak sudah begitu membludak? Baik, mari sama-sama kita fahami.
Harus kita akui bahwa kebijakan saat ini begitu banyak mengadopsi pemahaman dari Barat. Ketika Barat mengagung-agungkan Hak Asasi Manusia (HAM), maka kitapun mengadopsinya Ketika Barat meletakkan nilai kebahagiaan itu dengan pencapaian materi sebanyak-banyaknya, maka kita pun mengadopsinya.
Ya, alhasil aktivitas kontrol masyarakat pun terjegal atas nama HAM. Bahkan bagi seorang ibu pada anaknya. Tengok saja, bagaimana curhatan seorang ibu di Palembang anaknya sendiri ke Polisi, sebab ia menegur anaknya pacaran.
Belum lagi jika kita bicara soal kebijakan terkait perselingkuhan dan kumpul kebo yang tertuang dalam KUHP baru. Dua kasus itu akan ditindak jika ada aduan dari pasangan sah dan orang tua atau anak dari pelaku. Kontrol masyarakat seakan makin tak dianggap.
Kasus penelantaran anak akan sulit diatasi jika solusi yang dijalankan masih tambal sulam. Di satu sisi mensosialisasikan kepada para siswa siswi tentang penjagaan diri, tapi di saat yang sama juga mensosialisasikan kespro di mana salah satu isinya adalah tentang alat kontrasepsi. Di satu sisi usia boleh menikah terus diperpanjang, sementara di saat yang sama pergaulan bebas justru dibiarkan bahkan difasilitasi lewat tontonan.
Demikianlah ketika kebijakan berada di atas asas sekuler kapitalis. Seakan pamali jika atas nama negeri mengatakan aktivitas khalwat (berdua-duaan), pacaran itu haram sebab termasuk aktivitas mendekati zina. Padahal jujur saja, manusiawi kita pasti mengakui berawal dari sanalah buah kehamilan tidak diinginkan yang berujung pada penelantaran anak tersebut.
Ya, sebab aturan dari Sang Pencipta pasti sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menenangkan jiwa. Tinggal pilihan manusia ingin mengamalkan atau mengabaikannya. Maka yuk bergerak, sebelum semua makin rusak!