Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kapan Rakyat Menikmati Harga BBM Yang Adil?

×

Kapan Rakyat Menikmati Harga BBM Yang Adil?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Kemasyarakatan dan Generasi

Untuk kesekian kalinya pemerintah menaikkan harga BBM. Per 1 Oktober semua jenis BBM non subsidi naik, yaitu Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex. Hanya BBM bersubsidi, Pertalite yang masih bertahan dengan harga lama.

Kalimantan Post

Salah satu alasan kenaikan harga BBM adalah karena pengaruh pergerakan harga minyak dunia yang sedang mengalami kenaikan. Ditambah lagi pembelian BBM yang menggunakan mata uang asing sehingga stabilitas harga minyak dipengaruhi fluktuasi nilai tukar mata uang.

Berulangnya kenaikan harga BBM di tengah ekonomi yang terpuruk perlu dikritisi. Kritik bukan bermaksud apriori dengan turun-naiknya harga yang memang lazim pada perdagangan komoditas.

Namun fakta yang tak bisa dibantah adalah Indonesia merupakan penghasil BBM. Meski BBM yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan nasional setiap harinya dan tetap harus mengimpor BBM dari negara lain untuk menggenapi, namun tetaplah sebagian besar yang dieksplorasi dari perut bumi Indonesia adalah gratisan secara zatnya sebagaimana air yang keluar dari mata air. Harga BBM yang dimiliki Indonesia hanya mengambil porsi biaya produksi dan distribusi, bukan biaya kompensasi tidak memiliki. Lantas mengapa harga BBM sepenuhnya disandarkan pada harga internasional? Adilkah harga tersebut?

Liberalisasi Migas dan Harga Pasar

Setelah reformasi, BBM pada rakyat dan negeri ini memasuki era baru. Wacana BBM berubah. Di era Orde Baru, setiap tanggal 16 Agustus, presiden Soeharto berpidato dihadapan MPR dan menjelaskan situasi kemajuan negara. Pidato beliau kerap menjelaskan bagaimana Indonesia masih mengandalkan sektor Migas sebagai tumpuan pemasukan APBN.

Namun rupanya realitas kekayaan BBM sebagai pemasukan APBN tersebut tinggal kenangan manis dan berubah 180 derajat. Kini selalu digaungkan bahwa BBM membebani negara dengan pengeluaran subsidi BBM dan Indonesia menjadi net importir, pembeli BBM. Apakah kekayaan BBM Indonesia sudah habis tereksplorasi di era Orde Baru? Jawaban tidak. Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) mencatat potensi minyak di Indonesia mencapai 4,2 milyar barel. Sayang APBN yang defisit tidak bisa mengerahkan modal untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan migas di bumi Indonesia.

Baca Juga :  DASAR NEGARA DAN KEHIDUPAN

Dari kekayaan minyak bumi tersebut, rata-rata 600 ribu barel per hari (bph) di lifting (disedot) dari ladang-ladang minyak yang tersebar. Mayoritas hasil lifting, yang hampir 90 persen, dilakukan perusahaan asing dari Amerika Serikat, Inggris dan Cina. Pertamina sendiri mengambil porsi kecil. Sebagai contoh, Exxon Mobil asal Amerika Serikat adalah yang pertama mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas di Indonesia sejak 1912.

Lantas mengapa dari pemasukan negara menjadi beban subsidi? Dari semestinya harga memiliki menjadi tergantung pada harga internasional? Produksi minyak yang mengandalkan pada swasta asing dan lokal menjadikan negara tidak berkuasa penuh terhadap kekayaan minyak. Bahkan ketergantungan itu menjadi keniscayaan karena liberalisasi migas oleh UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pada UU ini pertamina diperlakukan sama dengan perusahaan swasta asing dan lokal untuk menggarap minyak. Dominasi swasta asing mendiktekan mekanisme harga. Sehingga harga minyak bersandar pada harga internasional. Akibatnya, muncul subsidi sebagai pengorbanan negara, terlebih kondisi keuangan APBN yang sedang berat karena terjerat utang. Padahal subsidi adalah hak rakyat dan kewajiban negara. Subsidi adalah salah satu wujud riayah negara atau pengelolaan urusan rakyat dimana negara mengerahkan anggaran dana dan mewujudkan sarana prasarana kehidupan bagi rakyat.

Jadi kenaikan BBM di negeri ini berakar pada tata kelola minyak bumi dengan sistem kapitalisme yang menguasakan kekayaan alam sumber energi pada segelintir kapitalis pemilik modal. Mereka mengangkangi kekayaan yang diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat.

Adapun Islam sangat bertolak belakang dengan sistem kapitalisme sekulerisme yang menerapkan kebebasan kepemilikan (penguasaan). Kepemilikan adalah izin syara’ untuk kewenangan mengelola dan mengambil manfaat sepenuhnya. Islam membagi kepemilikan berdasarkan subyek yang berhak mengambil manfaat dan mengelola yaitu pribadi, umum dan negara. Sumber energi minyak adalah milik umum atau kolektif rakyat, dimana negara yang mengurus rakyat harus mengelolanya sehingga bisa dinikmati rakyat. Ketetapan ini berdasarkan hadits Nabi SAW, “Manusia berserikat (bersama-sama membutuhkan) dalam tiga hal air, padang dan api.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Dasar lainnya adalah ketika Nabi SAW menarik kembali lahan yang berisi tambang garam yang sebelumnya diberikan untuk pribadi setelah mengetahui kandungannya yang berlimpah.

Baca Juga :  KEMANA KAKI MELANGKAH?

Para ahli hukum syariat Islam (fuqaha) pada masa lampau seperti Ibnu Qudamah, telah merinci masalah kekayaan tambang. Beliau berpendapat bahwa barang tambang yang tampak (zhahir) seperti garam, air, sulfur, ter, batu bara, minyak bumi, celak, takut dan semisalnya merupakan milik umum; tidak boleh dimiliki secara privat dan dikuasakan kepada siapapun meskipun tanahnya dihidupkan oleh orang tertentu.

Kaum muslimin adalah pelopor eksplorasi minyak bumi sejak tahun 600 H. Saat itu kota-kota di negeri muslim terang benderang di saat kota-kota Eropa dalam kegelapan. Salah seorang ilmuwan muslim yang juga pakar geologi adalah Al Biruni. Praktik ini semata karena kesadaran syariat dalam pemanfaatan kekayaan alam yang dianugerahkan oleh Allah SWT.

Jadi kekayaan minyak bumi dalam pandangan syariat harus dikelola negara. Negara harus mengerahkan SDM, teknologi dan modal untuk mengeksplorasi dan mengeksplorasinya. Jika BBM didistribusikan kepada rakyat yang merupakan pemilik asli minyak bumi, dengan mengenakan harga, maka harga tersebut adalah kompensasi produksi dan distribusi. Negara tidak boleh berorientasi untung sebagaimana swasta. Kebutuhan energi rakyat terpenuhi dengan baik dengan harga yang adil di bawah penerapan sistem Islam.

Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan