Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan

Iklan
Opini

”MANJANAKI” WISDOM, TOKOH GERAKAN PLURALISME

×

”MANJANAKI” WISDOM, TOKOH GERAKAN PLURALISME

Sebarkan artikel ini

oleh: Noorhalis Majid

SATU buku memuat 8 tokoh gerakan pluralisme di Indonesia, diterbitkan Institut Dian Interfidei (2023), tokoh tersebut antara lain Th Sumartana, Djohan Effendi, Pdt Eka Darmaputra, Daniel Dhakidae, Gedong Bagoes Oka, Romo YB Mangunwijaya, Abdurrahman Wahid, dan Pater Neles Kebadabi Tebay.

Baca Koran

FKUB Kalimantan Selatan mendiskusikan bukunya bersama Ilham Masykuri Hamdie, Darius Dubut dan IBG Dharma Putra. Dihadiri tokoh lintas agama, termasuk pegiat gerakan pluralisme.

Ilham Masykuri Hamdie memulai dengan memperkenalkan tokoh gerakan pluralisme asal Kalimantan Selatan, Djohan Effendi. “Bila mengenal Djohan, ada tiga ciri yang melekat pada beliau, yaitu asketis, sederhana, dan kader. Asketis itu gaya hidup becirikan penolakan terhadap kenikmatan indrawi dan harta benda, wujud kedalaman spiritual. Bahkan ketika mau dilantik menjadi Mensesneg, beliau tidak memiliki jas untuk pelantikan, sampai kemudian harus dibikinkan terlebih dahulu”, kenang Ilham Masykuri yang sangat akrab dengan sosok gurunya Djohan Effendi.

Djohan seorang yang tekun melakukan pengkaderan. Sejak dulu dikenal suka mendampingi anak-anak muda berdiskusi, sehinggga lahirlah para kader yang sekarang menjadi tokoh gerakan pluralisme. Bersama kawan-kawannya, mendirikan berbagai lembaga interfaith antara lain Institut Dian Interfidei, ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), dan MADIA (Masyarakat Dialog Antar Iman).

Sementara Gus Dur, oleh Ahmad Suaedy, kata Ilham, disebut manusia ampibi. Seorang yang dapat hidup dalam situasi dan keadaan berbeda. Dia menggabungkan kehidupan yang bahkan sangat bertolak belakang. Mampu menyederhanakan sesuatu yang dianggap orang lain begitu rumit dan bermasalah. Karenanya terkenal ungkapan “gitu aja kok repot”.

Bagi Gus Dur, masyarakat harus diubah, perubahan paling strategis adalah dari kepemimpinan. Tujuannya agar terbangun kesejahtraan rakyat. Dia memperkenalkan universalisme Islam, yang menjadikan Islam memiliki titik temu dengan berbagai agama lain, baginya Islam adalah humanisme. Juga memperkenalkan kosmopolitanisme Islam, terbuka dengan berbagai budaya, baik Timur atau pun Barat. Mengusung “pribumisasi Islam”, dimana Islam hadir tidak untuk memberangus kearifan-kearifan yang bersifat lokal, justu menjadikan Islam semakin kaya dengan kearifan lokal tersebut.

Akan halnya Romo YB Mangunwijaya, dikenal sebagai manusia multispektrum. Arsitek, budayawan, dan aktivis sosial pembela orang kecil. Pernah menjadi dosen luar biasa di Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada. Menulis berbagai karya sastra, dan aktivis bagi kaum marginal dengan membantu warga di Kali Code, Yogyakarta dan Kedung Ombo, Sragen.

Baca Juga :  Dilema Narkoba, Memuluskan Prestasi dan Karir

Romo Mangun mengenalkan apa yang disebut Gereja Diaspora, bahwa gereja itu seharusnya tempat menampung rakyat yang menderita. Dia mengamalkan apa yang sudah dirumuskan dalam Konsili Vatikan II, bahwa pada orang lain juga ada keselamatan. Karenaya dia memperjuangan kasus kali Code, gedung Ombo, dan lain-lain. Dia anti elit, karena menganut teologi kemerdekaan.

Melihat ketiga tokoh tersebut, pertanyaan yang layak direfleksikan, ketika ketiga tokoh tersebut mempraktikkan pluralisme dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannnya sebagai laku hidup, apakah hal tersebut merupakan produk zaman yang telah membentuk mereka menjadi seperti itu? atau hal tersebut murni produk dari keperibadian mereka sendiri?

Darius Dubut kemudian memperkenalkan tokoh lainnya, yaitu pendiri Institut Dian Interfidei, Th Sumartana, tokoh ini merupakan kakak tingkat dari Darius Dubut sendiri. Mas Tono dia biasa menyapa. Awalnya dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan. Tulisannya terkait hal tersebut menghiasi berbagai media nasional. Kemudian dalam perjalanan intelektualnya, gelisah dengan realitas Kekeristenan. Terutama terkait hubungan antara Islam dan Kristen yang waktu itu semakin hangat, terutama didasari oleh persoalan teologis. Atas dasar itu bersama kawan-kawannya, termasuk Djohan Effendi, mendirikan Institut Dian Interfidei. Suatu lembaga yang mengusung isu pluralisme. Bahkan hal tersebut tercermin dari personil awal yang turut terlibat dalam lembaga tersebut, terdiri dari anak-anak muda dengan berbagai latar belakang agama.

Dia memperkenalkan apa yang disebut dengan pluralisme liberatif, yaitu suatu pandangan yang mengakui realita pluralitas agama, namun juga menganggap bahwa setiap agama memiliki kebenaran dan keunikannya sendiri. Pluralisme liberatif memandang perbedaan agama bukan berarti merelatifkan kebenaran agama tersebut. Menjadikan pluralisme sebagai panggilan bersama, suatu gaya hidup dimana orang menjalani hidup secara wajar dengan orang yang berbeda-beda. Pluralisme dijelmakan sebagai panggilan bersama. Memperjuangkan kemerdekaan agama sebagai kemerdekaan yang membebaskan.

Dia menjawab berbagai pertanyaan, terkait dasar iman apa yang menganjurkan umat beragama harus bekerjasama? Apa dalilnya?, maka dia mengkaji berbagai teologi untuk dimaknai ulang, dan karena itu dia mengajurkan untuk melakukan dialog antar iman, sehingga ditemukan berbagai dasar teologis yang menyebabkan semua orang harus bekerjasama untuk kehidupan di muka bumi ini.

Baca Juga :  Mendulang Berkah Abah Guru Sekumpul

IBG Dharma Putra, mengenalkan tokoh gerakan pluralisme yang berasal dari kampungnya di Bali, tempatnya di Karang Asem, suatu tempat khusus yang banyak dihuni para ningrat Bali dan beliau merupakan orang biasa yang hanya karena karya dan kepribadiannya, kemudian menjadi Perempuan yang sangat dihormati, nama beliau Gedong Bagoes Oka.

Dharma mengatakan bahwa dia mengenal ibu Gedong dari cerita kakak-kakaknya yang pernah menjadi murid beliau, kakak yang paling bandel pun merasa segan, takut dan menurut pada ajaran beliau.“Setelah dewasa, saya mencoba mengapresiasi penyebabnya dan saya duga, proses belajar yang dilakukan oleh beliau terhadap murid-muridnya, termasuk terhadap kakaknya merupakan proses paripurna, yang terdiri dari peneladanan, pembiasaan dan pembelajaran”, kata Dharma.

Nama beliau semakin mendekati dan sekaligus identik sebagai perempuan Hindu dan pengikut Mahatma Gandhi yang baik. Bukan hal yang aneh di Bali, seorang perempuan Hindu yang taat menjalankan ritual dan spiritual Hindu sekaligus meniru cara perjuangan idolanya manusia berjiwa besar, bernama Gandhi.

Secara lebih dalam ia memandang beliau sebagai perempuan Hindu dengan ketaatan ritual dan spiritual dengan pandangan Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (Hanya satu Tuhan, namun orang bijaksana menyebutNya dengan banyak nama), Eko Narayana Nadwityo Astikacit (Hanya satu Tuhan, sama sekali tidak ada duanya) dan Ekam Ewa Adwityam Brahman (Tuhan itu hanya satu, tidak ada duanya); Beliau Pengikut Gandhi, suatu pilihan perjuangan tanpa kekerasan sesuai prinsip Ahimsa; Pendukung kehidupan dengan harmoni dalam kesederhanaan Tri Hita Karana, dan Rwabhinedda; Guru yang menginspirasi karena punya kompetensi, bisa kristalisasi dan bicara, serta jujur dan rendah hati.

Dialog tersebut menyimpulkan “manjanaki” tokoh gerakan pluralisme, semakin menegaskan pluralisme itu sama dengan humanisme. Untuk dapat menjadi seperti itu, harus selesai dengan dirinya. Mengenalkan tentang beyond religion, yaitu menerima orang lain yang berbeda, menekankan pentingnya kebebasan dan keselarasan beragama di tengah kondisi dunia yang penuh penyimpangan. Perlu aksi nyata terkait isu kemanusiaan, sehingga berdampak bagi umat beragama. Sebagaimana disampaikan Gus Dur, “Tuhan tidak perlu dibela, yang wajib dibela adalah kemanusiaan”. (nm)

Iklan
Iklan