Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kandungan Dakwah Sosial Dalam Ibadah Haji

×

Kandungan Dakwah Sosial Dalam Ibadah Haji

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Sejarah Urang Banjar Tulak Haji dan Gambaran Kota Suci”

Setiap tahun jutaan umat Islam dunia menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Dari jumlah tersebut, lebih l0 persen adalah jamaah haji ulangan, terdiri dari para petugas haji, pengemban badal haji dan orang-orang kaya yang karena kelebihan uang cenderung berhaji berkali-kali.

Baca Koran

Ada banyak faktor mengapa orang berulang kali berhaji. Di antaranya karena nilai ibadah di sana yang sangat tinggi. Sejumlah hadits menyatakan, shalat di Masjidil Haram Makkah sama dengan l00 ribu kali shalat di tempat lain, shalat di Masjid Nabawi Madinah sama dengan l000 kali, dan shalat di Masjidil Aqsha Palestina sama dengan 500 kali shalat di tempat lain.

Selain itu tanah suci menyimpan sejumlah tempat bersejarah dan juga tempat yang sangat mustajabah untuk berdoa, di antaranya Raudhah, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Muzdalifah. Mina, Arafah, dan lain-lain. Walaupun berdoa di mana saja sebenarnya bisa, namun tidak sedikit orang memilih berdoa khusus di sana, sekaligus untuk berkontemplasi, melakukan penyadaran dan pencerahan spiritual dan mengadakan penyucian dosa. Para artis, pejabat, pengusaha dan kalangan berduit lainnya juga banyak yang menjadikan tanah suci sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk merenungi diri.

Kecenderungan orang untuk berulang kali berhaji (atau berumrah) sebenarnya positif saja. Selain untuk peningkatan kualitas beragama yang bersangkutan, juga menghidupkan gairah sosial ekonomi. Sehingga perjalanan ke tanah suci sudah menjadi lahan bisnis travel sejak lama. Terlebih kini bermunculan sejumlah biro travel yang menyelenggarakan paket-paket haji khusus dan umrah dengan berbagai tawaran dan fasilitasnya.

Meskipun kaya dengan keistimewaan ibadah dan pengabulan doa, dalam haji sebenarnya juga mengandung perintah dakwah yang dominan. Bagi orang yang berhaji, selain ditandai kualitas ibadah, seyogianya juga punya komitmen berdakwah yang tinggi.

Dakwah Verbal

Dimensi dakwah dalam haji sangat menonjol bila kita teliti sejarah perjalanan haji yang dilakukan Rasulullah. Seperti diketahui, meskipun dekat dengan Makkah, Rasul dan sahabat hanya sekali melakukan haji, yaitu Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Sebelumnya beliau hanya melakukan haji umrah.

Haji Perpisahan ini disebut Hijjat al-Wada’, Hijjat al-Islam dan juga Hijjat al-Balagh. Disebut Hijjat al-Islam, karena saat itu Islam disempurnakan, dan Allah mengakui bahwa risalah Islam yang dibawa Nabi sudah sempurrna dan diakui. Dan disebut Hijjat al-Balagh, karena haji tersebut menekankan pentingnya penyampaian seruan atau dakwah Islam. Dalam khutbah terakhir di Arafah, beliau SAW berkali-kali menekankan pentingnya dakwah. “…Sudahkah aku sampaikan…?”, “sudah”, jawab jamaah serentak. Seraya Nabi memohon kepada Allah akan persaksian jamaah sahabatnya itu.

Baca Juga :  KINERJA LEGISLATID DI DAERAH

Menyadari bahwa tugas risalah Nabi sudah menjelang selesai, maka sebagian besar sahabat yakin bahwa tugas merekalah selanjutnya untuk menyampaikannya, karena mereka adalah pewaris dan penerus tugas Nabi. Itulah sebabnya konon dari ratusan ribu jamaah haji saat itu, hanya sekitar l0 persen yang kembali pulang ke Madinah. Selebihnya menyebar ke daerah lain dari yang terdekat sampai yang jauh, semata untuk menyiarkan Islam. Mereka rela untuk meninggalkan Rasulullah yang teramat sangat mereka cintai. Mereka rela untuk tidak berdekat-dekat dengan Makkah dan Madinah, meskipun di kedua masjid itu nilai ibadah mereka ribuan kali lipat dibanding tempat lain.

Karena komitmen tinggi untuk berdakwah itulah maka banyak dari mereka tidak menemui saat Nabi wafat di Medinah. Belakangan banyak dari sahabat itu wafat di tempat yang jauh. Ada yang wafat di Irak, Iran, Mesir, India, Cina, Turkestan, Mesir dan pedalaman benua Afrika, Asia Kecil dan Asia lainnya. Para sahabat lebih memilih dakwah verbal dengan mengorbankan diri, tenaga, waktu, ilmu dan apa saja miliknya untuk keberhasilan dakwah. Salah seorang sahabat, Saad bin Abi Waqqash dikabarkan meninggal di Cina karena berdakwah di sana. Mengapa beliau tidak memilih meninggal di tanah suci, tentu karena nilai dakwah yang begitu tinggi, dan menyadari sepenuhnya bahwa dakwah Islam harus disebarkan ke seluruh alam.

Seandainya mereka hanya berkumpul di sekitar Nabi dan tak mau meninggalkan kota suci, tentu dakwah Islam takkan tersebar luas seperti sekarang. Komitmen dakwah seperti inilah barangkali yang ingin dikembangkan kembali oleh teman-teman aktivis Jamaah Tabligh, sehingga mereka rela meninggalkan keluarga dan pekerjaan berbulan-bulan untuk berdakwah secara mandiri di tempat lain, dekat maupun jauh.

Dakwah Sosial

Bagi para jamaah haji dewasa ini mungkin untuk terjun berdakwah verbal seperti dicontohkan para sahabat Nabi agak kesulitan. Sebab keterkaitan mereka dengan pekerjaan, daerah asal dan keluarganya sangat tinggi. Untuk itu alternatif dakwah sosial merupakan pilihan tepat. Mereka bisa menggunakan tenaga, waktu dan uangnya untuk berdakwah di tempat asal, yakni kampung halamannya sendiri., sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Semangat ibadahnya tentu makin meningkat, kecenderungan bermaksiat tentu tak ada lagi. Adalah sangat disayangkan bila orang yang berhaji sekembalinya dari tanah suci tetap akrab dengan maksiat, suka minum, main wanita dan melakukan praktik riba, cuek terhadap kehidupan dan problema sosial, atau tetap malas shalat, puasa, enggan berzakat dan masih banyak lagi.

Baca Juga :  Selamatkan Generasi dari Jeratan Judi Online

Orang yang peduli terhadap problema sosial sesungguhnya mendapat nilai tinggi dalam pandangan Allah. Tersebutlah seorang saleh (Waliullah) bernama Abdullah bin Mubarak. Setelah selesai berhaji di sisi Baitullah ia bermimpi. Bahwa di negeri Basrah (Irak) ada seorang pemuda saleh lain yang gagal berhaji tahun itu. Namun Allah tetap menerima niat haji pemuda itu. Merasa mimpinya bukan kembang tidur, maka sepulang haji Ibnu Mubaraq pun mencari pemuda dimaksud. Setelah ketemu, diketahui pemuda itu bernama Ali al-Muwaffaq. Ia adalah pekerja kasar yang sudah menabung selama 30 tahun untuk berhaji. Setelah cukup 30 dirham ia pun berangkat ke Mekkah. Di perjalanan ia ketemu ibu-ibu janda yang sedang kelaparan akibat krisis pangan yang hebat. Uang 30 dirham itu ia sumbangkan semuanya, dan ia pun pulang ke kampung asal, sembari tetap berniat berhaji lain kali. Ternyata niat hajinya ini diterima sebagai haji sebenarnya oleh Allah dan diberi ganjaran haji yang mabrur.

Dalam teologi Islam, mimpi yang baik (ru’yal hasanah) dari orang saleh (rijalus shalih) merupakan satu bagian dari 46 bagian nubuwah (wahyu). Karenanya mimpi demikian bisa dibenarkan. (HR. Bukhari). Ini berarti orang yang punya kepedulian sosial tinggi sangat dihormati oleh Allah, sehingga niat hajinya yang terabaikan tetap dihargai sama dengan berhaji bahkan dijamin kemabrurannya.

Bagi orang yang sudah berhaji, walaupun masih rindu dan cenderung pergi ke tanah suci sebagai sebuah panggilan hati, kita sarankan pula untuk memperkaya spiritualitasnya dengan memperbanyak aktivitas dakwah sosial. Dewasa ini teramat banyak problema sosial yang dihadapi masyarakat. Dalam kondisi demikian sangat dibutuhkan uluran tangan orang mampu dalam berbagai bentuknya, baik dengan membuka lapangan kerja, bantuan uang segar, membantu proyek dan pelayanan sosial dan masih banyak lagi. Lapangan dan dedikasi sosial tidak kenal henti dan batas. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan