Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pangeran Antasari : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing

×

Pangeran Antasari : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ummu Anisa

Pangeran Antasari merupakan pahlawan nasional yang identik dengan masyarakat Banjar. Nama beliau sangat masyhur dan diabadikan sebagai nama Komando Resort Militer (Korem) 101 dan nama Universitas Islam Negeri (UIN) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Beliau adalah putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir yang lahir pada tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 (53 Tahun) di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Tahun kelahiran Antasari masih simpang siur, antara 1797 dan 1809. Helius Sjamsudin dalam novel sejarah Antasari, memperkirakan Antasari lahir pada 1809 di Kayu Tangi. Keluarga Pangeran Masohut ini hidup jauh dari lingkaran istana Banjar. Mereka hidup di sebuah lahan yang membuat mereka hidup relatif sederhana.

Baca Koran

VOC boleh saja bangkrut pada akhir 1799, tetapi cengkeraman pemerintah Hindia Belanda terhadap penguasa-penguasa lokal di Nusantara sama kuatnya. Termasuk di Banjar. Seperti di masa sekarang, Banjar di zaman Pangeran Antasari pun sudah diketahui memiliki potensi batu-bara di tanahnya. Tak heran jika pemerintah Hindia Belanda merasa sangat berkepentingan dengan konstelasi di Banjar. Mereka selalu terlibat jauh dalam urusan suksesi di Kesultanan Banjar. Ketika Pangeran Hidayatullah II dicurangi oleh Belanda sehingga tidak menjadi sultan, Antasari membela sang pangeran. Pangeran Hidayatullah II yang usianya jauh lebih muda dianggap Antasari layak dan sah menjadi sultan. Belanda lebih suka mengangkat Pangeran Tamjidillah II. Pilihan itu dipicu oleh, menurut catatan MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), “Karena ia menjanjikan konsesi yang lebih besar (bagi Belanda)”. Hidayatullah II pun tersingkir. Dari 1857 hingga 1859, Sultan Tamjidillah II berkuasa. Setelah 1859, Perang Banjar pun pecah.

Baca Juga :  Akar Masalah Dunia Pendidikan


Pangeran Antasari, bersama Pangeran Hidayatullah II, memimpin perlawanan melawan Pemerintah Belanda. Dalam perlawanannya itu, Pangeran Hidayatullah II dianggap sebagai Sultan Banjar. Pada 18 April 1859, Pangeran Antasari yang makin sepuh memimpin penyerangan benteng dan tambang batubara Belanda di Pengaron. Meski tentara Belanda di sana bisa dilumpuhkan, menurut Gusti Mayur dalam buku Perang Banjar (1979), “sangat disayangkan di dalam penggempuran-penggempuran ini, walau beberapa benteng pertahanan (milik Belanda) dapat direbut, namun tidak banyak merebut senjata api”.

Helius Sjamsuddin, dalam Pegustian dan Temenggung (2001) menyebut : “Pada tanggal 18 Februari 1860, ia menulis sebuah surat kepada kerabatnya di Kutai, Pangeran Purbasari. Ia juga menyurati pangeran-pangeran lainnya dari Kutai, seperti Pangeran Nata Kusuma, Pangeran Anom dan Kerta. Mereka semua adalah mata rantai-mata rantai penyelundupan senjata api dan amunisi dari Kutai ke Tanah Dusun. Kala itu yang berkuasa di Kutai adalah Sultan Aji Muhammad Suleiman yang kini namanya diabadikan sebagai nama bandara di Balikpapan. Menurut Ricklefs, dalam penyerangan di Pengaron itu, pos misionaris juga diserang dan orang-orang Eropa (terutama Belanda) di sana terbunuh. Pihak Belanda yang bercokol di sekitar istana Banjar tentu berusaha keras meredam perlawanan Pangeran Hidayatullah II dan Pengeran Antasari itu. Salah satunya dengan menyandera keluarga Pangeran Hidayatullah II. Hal ini membuat Hidayatullah II terpaksa keluar dari arena gerilya agar keluarganya tak dibunuh. Dengan akal bulus itu, Pangeran Hidayatullah II kemudian dibuang ke Cianjur pada 1862 hingga meninggal dunia pada 1904.

Setelah kepergian Hidayatullah II, Pangeran Antasari yang sudah sepuh pun didaulat oleh para gerilyawan sebagai Sultan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, sejak 14 Maret 1862. Tentu saja kuasa Pangeran Antasari tak diakui Belanda. Dia pun meneruskan perlawanannya terhadap Belanda. Perlawanan Antasari tak hanya Kalimantan Selatan saja, tapi termasuk daerah perbatasan Kalimantan Tengah juga. Daerah-daerah perlawanan Pangeran Antasari itu, menurut Ahmad Basuni dalam buku Pangeran Antasari: Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Kalimantan (1986), terdiri dari beberapa golongan dan suku seperti Banjar Kuala, Banjar Hulu, Dayak dan lain-lain.

Baca Juga :  Butuh Transformasi Total, Bukan Hanya Ekonomi Digital

Tanggal 28 April 1859 Pangeran Antasari memimpin rakyat Banjar untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda di Benteng Oranye Nassau, sejak saat itulah Perang Banjar meletus. Dalam Perang Banjar ini Pangeran Antasari tampil ke gelanggang perjuangan bahu membahu dengan pejuang Banjar lainnya untuk menyelamatkan kerajaan Banjar dari tangan Belanda. Yang menarik, Pangeran Antasari mengucapkan sumpah ‘Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing’ yang berarti bahwa perjuangan dipandang haram kalau menyerah kepada Belanda, oleh karena itu perjuangan harus diteruskan sampai tercapai apa yang dicita-citakan yaitu tanah Banjar bebas dari penjajahan. Sumpah tersebut, bagi Pangeran Antasari dan pengikutnya merupakan suatu ikrar yang harus ditaati. Pangeran Antasari juga sempat diangkat menjadi Sultan Banjar pada tanggal 14 Maret 1862 dengan gelar Panembahan Khalifatul Mu’minin. Meskipun pada tahun tersebut Pangeran Antasari meninggal dunia, tapi perjuangannya tetap dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Pangeran Seman sampai per
ang ini berakhir.

Iklan
Iklan