Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI. Al Mujahidin II Banjarmasin
Rasa bangga menjadi orang Indonesia yang kaya akan SDA-nya, tak pernah habis tujuh turunan sampai ke anak cucu, seharusnya seperti itu akan tetapi malah sebaliknya dan jauh pada kenyataannya.
Negeri yang banyak kekayaan alam berlimpah merupakan anugerah tersendiri bagi Indonesia. Laut yang membentang, hutan yang menghijau, dan berbagai kandungan tambang yang terpendam. Bicara tentang tambang, Papua adalah satu di antara wilayah Indonesia yang terkenal dengan gunung emasnya.
Jika menyebut gunung emas, pasti sangat familiar dengan emas Grasberg yang dikelola PT Freeport Indonesia. Fakta Papua kaya dengan emas memang bukan kaleng-kaleng. Selain Freeport, ternyata ada Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua, yang memiliki potensi emas yang luar biasa.
Fakta blok Wabu yang berpotensi hasilkan emas dan sedang menjadi incaran banyak korporasi seharusnya menyadarkan kita bahwa pengelolaan oleh swasta sbgmn sdh terjadi pd freeport tdk memberi maslahat pd rakyat bahkan seperti menyerahkan aset publik untuk diambil hasilnya oleh swasta/asing
Berdasarkan data Kementerian ESDM 2020, Blok Wabu menyimpan potensi sumber daya 117.26 ton bijih emas dengan rata-rata kadar 2,16 gram per ton (Au) dan 1,76 gram per ton perak. Ferdy mengatakan nilai potensi ini setara dengan US$14 miliar atau nyaris Rp300 triliun dengan asumsi harga emas US$1.750 per troy once.
Sementara itu, setiap satu ton material bijih mengandung logam emas sebesar 2,16 gram. Nilainya jauh lebih besar dibanding kandungan logam emas material bijih Grasberg milik Freeport yang hanya mengandung 0,8 gram emas. (Tempo, 24/9/2021)
Dengan potensi emas demikian besar, pantas saja Blok Wabu menjadi incaran para pengusaha. Bagai gadis perawan yang belum terjamah, siapa pun yang membaca potensi gunung emas ini pasti terpesona dan tergoda untuk memilikinya.
Sebelum 2018, Freeport telah melepas Blok Wabu kepada pemerintah. Namun, pemerintah baru secara resmi menyatakan hal tersebut dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 21/12/2018.
Tak ada angin tak ada hujan, Blok Wabu disinyalir telah jatuh ke tangan swasta. Temuan ini didasarkan pada laporan berbagai lembaga seperti YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan gerakan. Bersihkan Indonesia, yang melaporkan ada empat perusahaan yang menguasai konsesi lahan tambang Blok Wabu.
Prioritas tambang mestinya diserahkan kepada BUMN atau BUMD setelah pengembalian Blok Wabu ke pemerintah sudah terlaksana. Sementara, pihak Kementerian ESDM belum memberikan respons terkait tender pengelolaan Blok Wabu yang kabarnya direbut perusahaan swasta. Kementerian ESDM diminta transparan tentang Blok Wabu atas dugaan penguasaan swasta atas tambang milik negara tersebut.
Sebenarnya, penguasaan swasta atas kekayaan alam milik negara bukanlah hal baru di sistem kapitalisme yang tengah diterapkan negeri ini. Berkuasanya Freeport selama puluhan tahun mengeksploitasi tambang emas di Papua cukuplah menjadi bukti nyata begitu kuatnya aroma kapitalisasi tambang.
Kapitalisasi tambang bermula dari liberalisasi ekonomi di segala lini. Siapa pun dianggap memiliki hak memenangkan tender meski kekayaan alam tersebut terkategori harta milik umum. Terjadilah kongkalikong antara penguasa dan pengusaha atas nama kerja sama atau kontrak karya.
Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator dengan ketok palu UU dan kebijakan yang lebih memihak kepentingan kapitalis. Terseretnya nama Luhut dalam konsesi tambang milik negara ini mengindikasikan betapa oligarki menggurita di lingkaran penguasa. Segelintir elite bisa berkuasa atas hajat hidup orang banyak.
Beginilah efek sistem kapitalisme bekerja. Kekuasaan dipegang segelintir orang. Dengan kekuasaan itu pula mereka bisa leluasa memegang kendali atas nama kebebasan kepemilikan. Penguasa tidak sepenuhnya berkuasa. Pengusaha bisa menjadi penguasa yang sesungguhnya.
Kebebasan kepemilikan dalam kapitalisme memiliki dampak berkepanjangan bagi rakyat. Boleh jadi satu wilayah memiliki kekayaan alam melimpah, tetapi tak menjamin penduduknya hidup sejahtera. Ketimpangan inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa kapitalisme bukanlah sistem yang manusiawi.
Di satu sisi ada golongan kaya raya bak raja, di sisi lainnya ada golongan rakyat miskin yang bahkan untuk mencari sesuap nasi saja begitu susah. Ibarat ayam mati di lumbung padi, Indonesia adalah negeri kaya SDA, tetapi rakyatnya belum sejahtera.
Dalam aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian harta milik umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan harta milik umum kepada individu, swasta, ataupun asing.
Seandainya salah urus, yaitu kapitalis yang mengurus, hanya akan menambah kekayaan segelintir orang yang tidak pernah merasa puas. Baru satu blok, Grasberg dan Wabu. Ada blok-blok lainnya sekitar 9—10 buah di Papua. Belum di Sumatra, Banyuwangi, Pongkor, dan lainnya. Itulah yang terjadi saat ini. Kekayaan mereka sudah luar biasa, bukan miliar lagi. Dari yang dilaporkan saja sudah banyak. Apalagi yang tidak dilaporkan, lebih banyak lagi.
Pengelolaan kepemilikan umum ini merujuk pada sabda Nabi SAW, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api”. (HR Ibnu Majah). Rasul saw juga bersabda, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api”. (HR Ibnu Majah).
Mengenai kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul SAW lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu)”. Rasul SAW kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia”. (HR at-Tirmidzi).
Dalam Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik garam maupun selain garam, seperti batu bara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas, dan sebagainya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.
Oleh karenanya, pengelolaan tambang emas seperti Freeport dan Blok Wabu tidak seharusnya dilelang atau diperjualbelikan layaknya barang dagangan milik pribadi. Bayangkan bila tambang emas Freeport dan Blok Wabu dikelola berdasarkan pedoman syariat Islam, itu sudah cukup memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya Papua. Bisa pula membayar utang Indonesia yang membengkak. Itu baru satu gunung emas, belum kekayaan alam lainnya seperti hutan, laut, dan tambang lainnya. Alangkah luar biasanya bila negeri yang disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa ini benar-benar mau menerapkan syariat Islam secara kafah dalam tata kelola negara Islam.
Mimpi menjadi negara maju bukan saja ilusi, kesejahteraan rakyat bukan lagi utopi, asalkan negeri ini menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Pengelolaan tambang yang pas, logis, dan menyejahterakan hanya bisa dilakukan dengan syariat Islam.
Sehingga, anugerah Allah SWT yang sangat besar ini dapat menjadi berkah bagi alam, manusia, dan kehidupan. Bukan menjadi malapetaka yang berujung sengsara. Saatnya mengganti sistem pengelolaan milkiyah ammah dengan Islam yg akan mengembalikan hak rakyat dan menghantarkan ridla ilahi.
Saatnya ganti sistem yang lebih baik dan diterapkan dalam seluruh kehidupan, Islam pernah memimpin dunia dan menajdikan masyarakat sejahtera dibawah naungan Islam. Wallahu ‘alam bishowab