Oleh : Norhidayani
“Partisipasi dan proses politik adalah kunci untukmencapai kemajuan suatu negara termasuk dalam demokrasi,” itu disampaikan Ketua DPR RI Dr (HC) Puan Maharani pada agenda MIKTA Speakers’ Consultation sesi kedua dengan tema ‘Kesetaraan Gender : Tantangan dan Strategi Inklusi Parlemen’. Sebab itu, ia menyoroti bagaimana perempuan masih kurang terwakili di berbagai tingkat pengambilan keputusan, terutama di parlemen dunia yang peningkatannya baru sekitar 3 persen sejak lima tahun lalu”.
Tahun 2024 dapat menjadi momentum bagi akselerasi kepemimpinan perempuan di dunia politik. Saya meyakini bahwa kepemimpinan perempuan dapat berkontribusi positif bagi kemajuan demokrasi,” tutur Puan melalui rilis kepada Parlementaria, di Jakarta, Selasa (7/5/2024). Tidak hanya itu saja, Puan mengingatkan, demokrasi tidak akan berkembang, tanpa dukungan dan partisipasi politik oleh perempuan. Menurutnya, kepemimpinan perempuan akan menjamin berbagai suara masyarakat lebih jelas terdengar dan berbagai kepentingan masyarakat lebih terwakili pada institusi publik.
Namun, Pemilu 2024 lagi-lagi memperlihatkan ketidakseriusan negara dalam menjamin pemenuhan hak perempuan untuk terlibat dalam kancah politik. Walaupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan regulasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah secara tegas mengatur keterwakilan perempuan dalam politik, realitas di lapangan menunjukkan bahwa komitmen untuk memenuhi hak-hak perempuan dalam ranah politik masih jauh dari yang diharapkan.
Meskipun persyaratan kuota 30% untuk perempuan dalam partai politik menjadi syarat untuk mengikuti pemilu, Pemilu 2024 menunjukkan bahwa mayoritas partai politik tidak memenuhi kewajiban tersebut, dengan pelanggaran terhadap Pasal 460 ayat (1) UU Pemilu. Bahkan, sejak diberlakukannya aturan afirmasi untuk keterwakilan perempuan, belum pernah terjadi pelanggaran sebesar ini, di mana mayoritas partai politik dengan jelas melanggar aturan, dan yang lebih mencemaskan, KPU membiarkan pelanggaran tersebut terjadi.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam Pemilu hanya sebatas pelengkap untuk memenuhi persyaratan partai politik untuk maju dalam kontes Pemilu. Fenomena ini memperlihatkan bahwa, meskipun ada upaya formal untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam politik, praktik politik yang terjadi masih jauh dari aspirasi untuk kesetaraan gender dalam arena politik. Beberapa factor mungkin menjadi penyebabnya, termasuk dominasi kultur patriarki yang masih kuat, kurangnya kesadaran dan pendidikan politik bagi perempuan, serta kurangnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran aturan.
Logika basi yang selalu diusung pegiat gender atas peran politik perempuan adalah bahwa semakin banyak perempuan yang terlibat dalam keputusan politik dan ekonomi, pasti akan banyak kebijakan yang berpihak pada kepentingan mereka. Terlebih banyaknya persoalan yang menimpa Perempuan yang makin hari, makin banyak dan beragam mulai kekerasan, perundungan, penelantaran, penindasan dan sebagainya.
Realitasnya perjuangan menuju pengakuan kesetaraan perempuan dalam demokrasi sesungguhnya adalah utopis. Amerika Serikat-sang pengekspor demokrasi sebagai senjata paling mematikan di negeri- negeri Muslim sesungguhnya tak pernah serius memperhatikan keterwakilan politik perempuan. Apalagi membiarkan mereka melenggang menjadi presiden. Padahal Victoria Woodhull telah meretas jalan menuju tampuk kekuasaan eksekutif tertinggi sejak tahun 1872. Hillary Clinton (2016) melengkapi 200 perempuan yang mencalonkan diri sebagai presiden bahkan sebelum perempuan mendapatkan hak untuk memilih tahun 1920.
Ketidakberpihakan sistem politik AS terhadap perempuan juga terjadi di lembaga legislatif. Untuk sekadar mendapatkan jumlah yang signifikan perempuan AS harus berjuang sekian puluh tahun. Untuk pertama kalinya perwakilan perempuan di Kongres mencapai lebih dari 20 persen, yakni 95 kursi di DPR dalam Pernilu paruh waktu (6/11/2018). Namun, keberhasilankandidat-kandidat perempuan meraih kursi di DPR tidak diikuti oleh rekan mereka di Senat. Ternyata sikap misog?n? yang dituduhkan feminis di Dunia Islam justru diidap AS.
Kondisi sebaliknya terjadi di negeri-negeri Muslim. Demi mengejar skor kesetaraan gender agar tidak masuk perangkap Gender Gap Index. Negei-negeri Muslim akan beriomba-lomba terlibat program yang dideraskan kufur Barat. Wajar jika capaian kinerja demokratis perempuan di negeri Muslim melejit dibandingkan AS, misalnya. Itulah jebakan yang sebenarnya.
Peringkat tinggi dalam kesetaraan gender akan menjadi trigger bag? Muslimah untuk kian berani membangkang pada Ketentuan syariah Islam termasuk mengambil tampuk kekuasaan tertinggi. Dunia mengenal PM Pakistan Benazir Bhutto. PM Bangladesh Khaleda Zia dan Shaikh Hasina Wazed, PM Turki Tansu Ciller. Megawati dan Halimah binti Yacob KetuaParlemen Singapura. Padahal Rasulullah SAW telah mencela kaum yang membiarkan mereka dipimpin perempuan.
Proses menabur mantra tentang demokratisasi perempuan memang menjadi fokus Barat untuk memalingkan kaum Muslim dari tujuan politik yang sesungguhnya. Sebagaimana di Indonesia, di Turki pun program PBB bertajuk Religion Politics and Gender Equality memprioritaskan mencegah bahaya penyebaran nilai-nilai agama patriarki (melalui birokras? publik, sistem pendidikan dan organisasi masyarakat s?p?l) yang memberikan sanksi peran sekunder bagi Perempuan. Bukankah menikam syariah, terutama menjauhkan Muslim dari sistem politik Khilafah menjadi target utama melibatkan mereka dalam demokratisasi?
Apa sesungguhnya yang dicari politisi Muslimah dari demokrasi? Ketidakberuntungan suatu kaum, sebagaimana yang disampaikan oleh lisan mulia Rasulullah SAW sungguh telah terbukti. Tak ada satu pun bangsa di dunia demokratis yang bebas dari penderitaan. Welfare state sebagaimana harapan semua bangsa hanyalah kesejahteraan semu. Tak ada perempuan yang bahagia harus berada dalam dilemma karir, politik dan keluarga. Hal itu terjadi karena demokrasi kapitalisme yang mereka adopsi untuk mengatur pemerintahan hanyalah sistem politik yang sesat dan menyesatkan.
Kiprah Perempuan
Sebagai din yang menyeluruh dan sempurna, Islam memiliki pandangan yang khas dan berbeda secara diametral dengan pandangan demokrasi dalam melihat dan menyelesaikan persolan Perempuan. Termasuk dalam memandang begaimana hakekat politik dan kiprah politik Perempuan di dalam Masyarakat. Mengenai peran politik, Islam memandang Perempuan juga memiliki kewajiban mewujudkan kesadaran politik di tengah-tengah Masyarakat.
Hanya saja untukmerealisasikan kewajibannya berkiprah dalam aktivitas politik, ada beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh seorang Muslimah diantaranya Pertama, harus disadari bahwa terjunnya Perempuan kekancah politik hanyalah semata-mata untukmelaksanakan perintah dari Allah SWT. Kedua, bahwa Allah telah menetapkan bentuk-bentuk aktivitas politik yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslimah.
Islam telah mengharamkan jabatan penguasa bagi Perempuan dan mengkhususkannya bagi laki-laki. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah, muawwin tafwidh, wali dan amil. Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah :” Tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaanya) kepada perempuan”. (HR. Bukhati).
Hanya saja pengkhususan ini bukan berarti menjadikan Perempuan sebagai warga negara kelas dua atau merendahkan Perempuan sebagaimana yang dituduhkan Sebagian kalangan. Sebab, Islam memandang bahwa peran penguasa dan rakyat dalam politik sama pentingnya.
Sedangkan beberapa aktivitas politik yang boleh atau wajib diterjuni oleh Perempuan : 1. Hak dan Kewajiban baiat. Dalam Islam, sahnya pengangkatan seorang khalifah itu adalah dengan baiat, yakni pernyataan dari kaum muslim kepada seorang muslim bahwa mereka rela mengangkat dan taat kepada orang tersebut untuk memimpin mereka memberlakukan hukum-hukum Allah dimuka bumi ini. Keterlibatan Perempuan dalam baiat telah terjadi dimasa Rasulullah dan beliaupun menerima baiat mereka; 2. Hak Memilih dan dipilih Menjadi Anggota Majelis Umat. Majelis Umat adalah suatu badan Negara islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah. Wakil-wakil ini mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat, memberi saran bagaimana kebutuhan tersebut terpenuhi, dan mengoreksi penguasa bila melakukan hak yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya. Dalam Riwayat Shahih, Ibnu Hisyam dari Ka’ab bin Malik disebutkan bahwa 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan mela
kukan baiat aqobah kedua. Rasul bersabda kepada mereka, “Datangkanlah 12 wakil dari kalian yang pada mereka ada tanggungjawab ras kabilahnya masing-masing”. (HR. Ahmad); 3. Kewajiban Amarmakruf Nahi Munkar. Aktivitas ini merupakan kewajiban bagilaki-laki dan Perempuan, Karen anash-nash yang berkaitan dengan masalah ini bersifat umum, berlaku baik bagi laki-laki maupun Perempuan sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104 dan juga Surat At-Taubahayat 71; 4. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa. Jika penguasa melanggar hukum syariat maka wajib bagi setiap muslim untuk menasehati penguasa agar ia memperbaiki kesalahan tersebut. Naishat tersebut bisa langsung disampaikan kepada penguasa atau melalui majelis umat atau melalui partai. Di masa Umar Bin Khathab, seorang perempuan telah memprotes Umar ketika beliau menetapkan jumlah mahar tertentu bagi perempuan karena tingginya mahar yang diminta Perempuan pada waktu itu. Kemudian Umar menyadari kekeliruannya dan segera mencabut keputusannya; 5. K
ewajiban menjadi anggota partai politik. Partai politik ada untuk mejaga agar semua hukum-hukum Allah tetap diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam kehidupannya sepanjang masa. Keberadaaanya wajib bagi semua muslim. Saat ini tidak ada satupun negeri Islam yang menerapkan Syariat Islam secara sempurna, maka tugas menegakkan syariat Islam belum selesai. Sehingga kewajiban mengeakkannya bersama sebuah partai, masih tetap menjadi tanggungjawab seluruh kaum muslim, termasuk para Muslimah.
Demikianlah, Islam telah memberikan penjelasan secara rinci tentang kewajiban berpolitik dan bagaimana seharusnya seorang perempuan melakukan aktivitas politiknya. Demokrasi telah terbukti tidak akan berpihak pada Perempuan dan mampu menyelesaikan persoalan Perempuan. Bukan karena demokrasi yang dicederai karena Keputusan pihak-pihak yang menjadi penguasa hari ini, tapi demokrasi sudah cacat dari akarnya. Maka Uninstall demokrasi harus menjadi hal yang juga dilakukan oleh para perempuan muslimah.