Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Penulis Buku Empat Titik Lima Dimensi, Magister Administrai Bisnis Universitas Brawijaya
Sudah sewajarnya setiap pemimpin terpilih membangkitkan optimisme masyarakat. Hal tersebut menjadi modal berharga untuk mewujudkan cita-cita besar yang telah dicanangkan sebelumnya. Sebab, tak bisa dipungkiri, tanpa adanya dukungan dan keterlibatan masyarakat, segala agenda dan program kerja bisa saja berjalan di tempat. Bahkan, bisa berjalan mundur. Dalam hal ini, kepercayaan masyarakat harus senantiasa dijaga, dirawat, dan ditingkatkan. Pemimpin dalam artian formal, entah itu di level desa sampai pusat, juga wajib memberikan keteladanan dalam setiap perilaku dan perkataannya. Ini menjadi modal penting untuk mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat selama periode kepemimpinnya.
Ironinya, hampir setiap waktu, kita selalu disuguhi sajian-sajian pemberitaan mengenai perilaku sebagian pemimpin yang menyalahi garis konsititusi. Betapa banyak, pemimpin yang menjadikan kekuasannya sebagai sarana untuk memperkaya diri. Bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat sebagai pemberi mandat. Bertidak seolah dirinya merupakan majikan yang harus dilayani. Padahal, hakikatnya pemimpin adalah pelayan dan pengayom masyarakat. Dalam hal ini, kepentingan rakyat memang wajib menjadi priorias utama. Bukan kepentigan diri, partai poltik, ataupun keluarga terdekatnya,
Sangat miris ketika melihat ulah sebagian pemimpin menyelewengkan anggaran negara. Tidak mempedulikan dampak dari tindakannya tersebut. Hak-hak rakyat dirampas begitu saja. Yang ada dalam hati dan pikirannya mungkin hanya bagaimana memperkaya diri dan mempertahankan kekuasannya. Bandit-bandit negara seperti itu harus dibabat habis. Sebab, benar-benar menghambat proses pembangunan nasional di segala sektor. Baik itu, pendidikan, kesehatan, infsratruktur, ekonomi, dan semacamnya. Sebab, anggaran yang harusnya turun ke masyarakat dipangkas untuk perutnya sendiri. Norma agama dan hukum dilabrak untuk kesenangan sesaaatnya itu. Lagi-lagi, rakyat yang menjadi korban.
Jangankan menunaikan janji politiknya, terhadap tanggung jawabnya sendiri sendiri mereka abai. Ketika diingkatkan, mereka dengan lihainya melancarkan segala jenis jurus untuk menampik. Merasa tidak ada yang keliru. Membenarkan yang salah. Dianggap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai praktik yang biasa dalam mengelola pemerintahan. Sungguh sungsang dan sontoloyo pola pikir semacam itu. Kerap kali kita dikelabui dengan polesan citra penampilannya yang seakan-akan tulus bekerja untuk masyarakat. Padahal, setiap regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan justrtu bertolak belakang dengan kepentingan rakyat.
Pantas saja jika kita sedang dalam mengalami sebuah fase krisis kepercayaan terhadap sebagian pemimpin kita. Sebab, memang begitulah faktanya. Selalu kita dengar dan baca di beragam pemberitaan, bahkan menyaksikan sendiri pemimpin yang tidak amanah. Saya pun bertanya-tanya: bagaimana nasib demokrasi kita, jika kualitas pemimpinnya semacam itu? Bisa jadi, demokrasi kita sedang berjalan mundur. Sebab, yang hadir di tengah-tengah kita adalah pemimpin-pemimpin yang pragmatis, culas, dan berjiwa bandit. Mungkin ini juga sebab sistem demokrasi kita yang masih mentolerir politik uang dalam segala bentuknya. Sehingga suara rakyat bisa dipeperjualbelikan. Yang terpilih adalah mereka yang berkantong tebal. Meskipun, dari segi pengetahuan, idealisme, integritas, intelektualitas, dan pengalaman jauh dari kata pantas. Artinya, sosok pemimpin yang terpilih tidak memiliki kapasitas.
Dampaknya adalah mereka bisa semau sendiri dalam memimpin. Tidak memperhatikan rambu-rambu yang harus ditaati. Bahkan, menganggap pengkritiknya sebagai musuh utama yang harus dilawan dan dihabisi. Pemimpin semacam itu sangat potensial bersikap otoriter dan antikritik. Kedewasaan dan kematangannya dalam memimpin belum teruji. Sebab, sebelumnya memang sama sekali belum pernah melewati proses kaderisasi, pendidikan, dan pelatihan. Tengok saja, berapa jumlah pemimpin kita yang terpilih sebab kekuatan modal, model, dan kemasyhuran. Padahal, di luar sana, hemat saya, masih banyak kader-kader terbaik bangsa yang pantas untuk menjadi pemimpin. Hanya karena minim modal plus tidak terkenal, mereka tersingkirkan dari kancah kompetisi politik lima tahunan.
Jujur saja, kita semua mendambakan hadirnya sosok pemimpin yang amanah, jujur, kredibel, profesional, dan bertangung jawab. Pemimpin berupaya sepenuh jiwa dan sekuat tenaga untuk melayani rakyat. Pemimpin yang berani mengambil risiko dan berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Pemimpin yang selalu memperjuangkan idealismenya. Baginya, idealismenya tidak bisa digadaikan, apalagi ditukarkan dengan materi dan jabatan. Pemimpin yang mampu memberikan teladan dalam setiap gerak-geriknya. Apa yang dikatakan selaras dengan yang dikerjakan. Apa yang dijanjikan selalu ditunaikan. Tidak membohogi rakyat dengan tampilannya. Dia adalah pribadi yang berkarakter dan siap mengabdikan dirinya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Besar harapan saya, di Republik ini, semakin banyak lahir dan tumbuh pemimpin-pemimpin bangsa di segala level, yang memang berjiwa nasionalis dan patriotik. Pemimpin yang tidak bersedia berkompromi dengan segala jenis kemunafikan. Sebab, yang ditakutinya hanyalah Tuhan. Sebab, yang menjadi panduannya dalam menjalankan kekuasaan adalah Pancasila dan UUD 1954. Sebab yang menjadi tuannya adalah rakyat. Sehingga, dia akan selalu hati-hati dan waspada agar otoritas yang dimiliki tidak menyakiti hati rakyat dan menyimpang dari aturan yang berlaku. Sekali lagi, bangsa membutuhkan pemimpin yang tulus mengayomi. Apalagi, pekerjaan rumah bangsa ini begitu banyak. Apalagi, tantangan yang sedang dan akan kita hadapi sangat beragam. Tentu membutuhkan keberpihakan pemimpin sebagai pemberi harapan dan jalan keluar. Bukan sebaliknya, justru menjadi biang keladi beragam persoalan yang terjadi.