Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI Al Mijahiddin II Banjarmasin
Pada sabtu siang sejumlah pengamat dalam diskusi di Jakarta, menilai kehadiran perda berdasarkan sebuah agama memunculkan beberapa masalah, antara lain menjadi komoditas politik, berpotensi diskriminatif, dan menghilangkan kepercayaan publik. Perda-perda yang mengatur kesusilaan, misalnya, kerap mengasumsikan perempuan yang keluar malam sebagai pekerja seks. Akibatnya, stigma dan label dibebankan kepada perempuan.
Dasar negara kita adalah Pancasila dan UUD yang isinya adalah melindungi semua warga negara, ya semuanya, baik perempuan, baik minoritas, kelompok non-Islam, atau siapa pun yang berada di negara ini harus semuanya dilindungi. Tidak berdasarkan pada salah satu pemahaman. Misalnya laki-laki untuk (masalah) perempuan dan atau Islam kalau untuk mayoritas dan minoritas agama.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada 2009-2016 ada 421 kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah Daerah. Kebijakan diskriminatif itu di antaranya kewajiban perempuan mengenakan jilbab, larangan keluar malam, dan juga pembatasan terhadap minoritas agama seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Sementara penerapan perda berdasarkan agama sering diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok agama minoritas. Perda-perda yang mengatur kesusilaan, misalnya, kerap mengasumsikan perempuan yang keluar malam sebagai pekerja seks. Akibatnya, stigma dan label dibebankan kepada perempuan.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Sekolah Negeri di Indonesia mendapat tentangan keras dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Ia menilai SKB yang dibuat Mendagri Tito Karnavian, Mendikbud Nadiem Makarim, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas itu akan mengarahkan Indonesia menjadi negara sekuler.
Hal itu disampaikannya saat diwawancara oleh tvOne terkait SKB yang dibuat sebagai buntut kasus protes salah satu orang tua murid atas aturan yang mewajibkan anak sekolah menggunakan kerudung di kota Padang (4/2/2021).
SKB menetapkan semua aturan yang mewajibkan atau melarang pakaian keagamaan tertentu harus dicabut alias tidak berlaku lagi.
Menurut Abbas, UU dan peraturan serta kebijakan yang dibuat pemerintah dan DPR dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan, semestinya didasari pada nilai-nilai dari ajaran agama. Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang menurutnya mengandung kehendak bangsa ini menjadi bangsa yang religius, bukan bangsa yang sekuler.
Untuk itu, terkait pakaian anak-anak sekolah, negara justru seharusnya mewajibkan anak didiknya agar berpakaian sesuai dengan ajaran agama dan keyakinannya masing-masing.
Sehingga tujuan dari sistem pendidikan nasional yang kita canangkan yaitu untuk membuat peserta didik bisa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan seterusnya dapat tercapai
Sebenarnya, sejak awal sistem di negara ini telah menganut paham sekuler, karena suatu negara ketika menyatakan adanya pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya pemisahan agama dari negara berarti negara tersebut adalah negara sekuler sebagaimana yang telah dijelaskan Al’alamah Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam tentang makna sekularisme.
Sejengkal demi sejengkal, negara sekuler akan menghapus syariat Islam. Mulai pemisahan agama dari politik dan pemerintahan dengan adanya pelarangan jihad dan Khilafah, lalu masalah poligami, perubahan hukum waris, dan sekarang masalah jilbab
Islam, telah menempatkan perempuan sebagai bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan. Keduanya bertanggung jawab mengantarkan kaum muslim menjadi umat terbaik di dunia.
Dalam kehidupan umum, Islam mewajibkan kaum perempuan menggunakan pakaian syar’i, yakni jilbab dan kerudung, melarang ber-tabarruj, dan memerintahkan laki-laki dan perempuan menjaga pandangan.
Aturan tentang menutup aurat dengan sempurna kepada para muslimah tersebut sudah tercantum di dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31 (perintah mengenakan kerudung) dan surah Al Ahzab ayat 59 (perintah mengenakan jilbab), serta surah Al Ahzab ayat 33 (tidak tabarruj atau berhias secara berlebihan dalam berpakaian atau ber-make up).
Jilbab bermakna milhafah (baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis), kain (kisa’) apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh.
Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan: Jilbab itu laksana sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.
Sedangkan dalam kamus ash-Shahhah, al-Jawhari menyatakan: Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut mula’ah (baju kurung).
Syariat Islam menempatkan perempuan sebagai mitra yang kedudukannya setara dengan kaum laki-laki. Di dalam Al-Qur’an, seruan untuk beriman dan melaksanakan hukum Allah diberikan sama, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Kaum perempuan bukanlah warga kelas dua yang boleh ditindas kaum laki-laki, termasuk oleh suami mereka.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya perempuan itu adalah saudaranya para laki-laki”. (HR Ahmad)
Syariat Islam memberikan perlindungan kepada perempuan secara menyeluruh. Islam menutup peluang terjadinya kejahatan terhadap perempuan serta menghalangi apa saja yang bisa mendorong dan memicu hal itu, salah satunya dengan syariat menutup aurat dengan menggunakan jilbab dengan sempurna.
Jadi, syariat berpakaian dalam Islam ini bukanlah untuk mengekang perempuan, namun sebaliknya membebaskan perempuan dari batasan-batasan jahiliah yang sejatinya justru melelahkan kaum perempuan.
Salah satunya batasan dengan definisi cantik menurut pandangan kapitalis Barat yang terus-menerus berubah dari masa ke masa, dan itulah yang sejatinya mengekang perempuan.
Di Eropa pada abad pertengahan (abad ke-15 sampai ke-17), kecantikan perempuan berkaitan erat dengan fertilitasnya, dengan kemampuan reproduksinya.
Pada masa itu, perempuan cantik adalah mereka yang memiliki perut dan panggul besar, serta batasan fisik lainnya. Hingga abad ke-19 atau ke-20, batasan perempuan cantik masih seputar fisik dan berkutat pada penilaian lahiriah, harus begini dan begitu. Para perempuan harus ekstra menjaga tubuh hanya agar tetap dilihat ideal menurut batasan yang mereka buat sendiri.
Definisi cantik terus berubah sesuai zamannya. Bila tahun 1960-an cantik diwakili Twiggy (model Inggris) dengan kurus kerempengnya. Ternyata, pada 1980-an bukan tubuh setipis papan yang dijadikan simbol kecantikan, melainkan tubuh yang cukup berisi dan sejenisnya.
Hal ini sebenarnya justru membuat para perempuan tersiksa karena harus mengikuti tren atau batasan cantik, sehingga yang memiliki tubuh tidak seideal yang disepakati akan tersingkir dan dilabeli jelek. Islam datang untuk membebaskan perempuan dari mitos kecantikan ala Barat sekuler yang melelahkan. Kecantikan dalam Islam tidak diukur dari fisik, namun kepribadiannya.
Perempuan dalam Islam dimuliakan dan dihargai sebagaimana laki-laki. Pandangan rusak terhadap perempuan lebih disebabkan karena rusaknya sistem. Kapitalisme memandang perempuan dengan harga murah dengan melihat fisik semata. Itulah masalahnya.
Kerusakan pandangan terhadap perempuan baik di masa dulu atau kini akibat tidak diterapkannya Islam sebagai pengatur kehidupan. Maka, jalan untuk mengubahnya adalah dengan memperjuangkan tegaknya Islam sebagai ideologi negara di bawah naungan Daulah Islamiah.
Dengan begitu, para perempuan akan dihargai sebagaimana ketika Pemimpin al-Mu’thasim menggempur Romawi gara-gara seorang pejabat negeri itu melecehkan seorang perempuan muslimah.
Juga agar tumbuh kesadaran di masyarakat bahwa tubuh perempuan bukanlah etalase yang bisa dipandang sesukanya dan dinilai dengan uang dan harta untuk memuaskan nafsu syahwat belaka.
Saatnya sudah beralih ke sistem yang lebih baik lagi yakni ke sistem yang mana membawa umat sejehtera dibawah naungan Islam, tidak ada sistem yang lebih baik lagi selain sistem Islam, karena sudah terlihat jelas dan Islam pernah berjaya dan pada saat itu umat sejahtera. Wallahu a’lam bish-shawwab