Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Maraknya Penculikan Anak, Dimana Peran Negara?

×

Maraknya Penculikan Anak, Dimana Peran Negara?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Rusmiatun
Pemerhati Sosial Masyarakat

Akhir-akhir ini kembali marak terjadi penculikan anak yang diberitakan berbagai media sosial, sehingga membuat orangtua merasa khawatir dan takut meninggalkan anak-anak sendirian, baik di rumah maupun sekolah. Apa yang menjadi penyebab penculikan anak terjadi dan dimana peran negara dalam memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat?

Kalimantan Post

Belakangan ini, isu kasus penculikan anak semakin masif di sejumlah daerah. Bahkan dinyatakan darurat. Anak yang diculik dipaksa ngemis, menjadi korban hasrat seksual, hingga organ tubuhnya dijual. Sejumlah pemerintah daerah (pemda) seperti di Semarang, Blora, hingga Mojokerto pun sampai mengeluarkan surat soal isu pencegahan penculikan anak beberapa waktu terakhir.

Namun alih-alih menangani, polisi di sejumlah daerah justru menyatakan kasus penculikan anak itu hoaks. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, meski polisi menyatakan hal tersebut hoaks, alangkah baiknya masyarakat agar tetap mawas diri. Para orang tua untuk memfilter informasi yang hoaks, di samping tetap memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak. “Kemudian aparat keamanan juga meningkatkan kemanan di tempat-tempat yang rentan untuk anak seperti bangunan kosong, lingkungan perhutanan warga serta tempat lain yang harus dipetakan,” kata Jasra kepada Tirto, Jumat (3/2/2023).

KPAI juga telah menghimpun sejumlah kejadian penculikan anak yang terjadi di beberapa tempat baru-baru ini. Pertama, peristiwa di DI Yogyakarta, ada dua kejadian penculikan anak yang gagal. Kedua, peristiwa di TKP Wisma Asri Kota Bekasi yang tersebar viral di medsos tentang penculikan anak untuk tujuan menjual organ tubuh. Namun telah dijawab Kapolres Metro bahwa informasi tersebut hoax dan peristiwa videonya benar terjadi pada 2020. Ketiga, peristiwa di bawah yuridiksi Polda Kepulauan Riau atas pembunuhan dua anak dengan dilaporkan motif pembunuhan korban karena ingin mengambil ginjal dan menjualnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) minta orang tua dan keluarga memperkuat pengasuhan terhadap anak. Hal tersebut menanggapi maraknya kasus penculikan anak di sejumlah daerah. “Perkuat pengasuhan orang tua atau keluarga. Buat kelekatan dengan ortu sehingga anak tidak mencari perhatian di luar atau bukan ortunya,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, kepada Tirto, Kamis (2/2/2023).

Ia mengimbau para orang tua tetap waspada kepada orang asing atau yang tidak dikenal, meskipun selalu mengajarkan anaknya berbuat baik kepada siapapun. “Kewaspadaan tetap diajarkan kepada anak untuk mengenali ancaman,” ucapnya. Kemudian orang tua juga tidak melakukan pola asuh berlebih sehingga terkesan membiarkan anak untuk bergaul dengan siapa saja tanpa antisipasi dengan ancaman. Seperti memberikan barang berharga yang memancing penjahat. Demikian pula orang tua perlu sadar dengan kesibukannya yang jika tidak memiliki mekanisme pengawasan yang baik dapat memberikan ruang kosong anak mendapat perhatian orang lain, termasuk yang berniat jahat. “Terkait dengan pengawasan ortu dan lingkungan juga perlu terus diperkuat, CCTV dapat membantu pengawasan di lingkungan masyarakat, termasuk mendorong terbentuknya gerakan masyarakat dalam perlindungan anak,” ujarnya.

Baca Juga :  Pahlawan Literasi di Zaman Viral

Ada banyak faktor yang menyebabkan berbagai motif penculikan anak terjadi di antaranya : 1. Kemiskinan. Berbagai motif penculikan anak menjurus pada satu garis besar, yaitu kemiskinan. Kasus di Makassar dilakukan oleh pelaku remaja karena tergiur imbalan Rp1,2 miliar dari tawaran jual beli ginjal di media sosial. Pelaku menjalankan aksinya dengan mengajak korban—yang tengah menjadi juru parkir di depan minimarket—untuk membersihkan rumahnya dengan iming-iming Rp50 ribu.

Korban pun mau saja ikut pelaku setelah diiming-imingi bayaran Rp50 ribu itu. Andai ia bukan dari keluarga miskin, anak usia 11 tahun sepertinya akan mewarnai hidup dengan belajar di rumah dan sekolah, bukan di jalanan yang rawan terjadinya tindak kriminal.

Begitu pun kasus penculikan Malika di Jakarta dan balita di Cilegon, Malika diajak memulung dan balita di Cilegon digunakan pelaku untuk mengemis. Andai pekerjaan mudah didapat, tentu “profesi” mengemis dan memulung tidak akan ada yang menggandrungi; 2. Ketakwaan hilang. Memang bukan semata karena kemiskinan. Ada banyak faktor penyebab maraknya tindakan kriminal, termasuk penculikan. Faktor utama adalah ketakwaan kepada Allah Taala. Andai saja para pelaku tersebut beriman pada Allah SWT dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, mereka tidak akan melakukan cara haram untuk mendapatkannya.

Namun, bagaimana bisa ketakwaan tumbuh pada diri mereka, sedangkan mereka lahir di tengah sistem kehidupan sekuler? Sedari kecil mereka tidak mengenal agamanya secara utuh. Mereka tidak paham berbagai nilai ajaran Islam, seperti bahwa nyawa manusia lebih mulia dari dunia dan isinya, pembunuhan adalah kejahatan paling besar, wajib mencari nafkah dengan cara halal, wajibnya seorang ayah menafkahi anak dan istrinya, dan sebagainya; 3. Kebijakan kontraproduktif. Kehidupan sekuler sungguh telah melahirkan berbagai tindak kriminal. Ini karena kebebasan tingkah laku menjadi konsekuensi logis dari paham ini. Masyarakat merasa bebas berbuat untuk kepentingan mereka sendiri, tidak peduli merugikan orang lain atau tidak.

Baca Juga :  Masjidi Al Aqsho Terancam Runtuh Akibat Penggalian Terowongan

Negara pun alih-alih menyelesaikan masalah, malah memicu terjadinya tindak kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, menetapkan sejumlah kebijakan yang ternyata kontradiktif terhadap penyelesaian tindak kriminal, termasuk penculikan anak.

Kebijakan terkait dengan perekonomian rakyat melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, melegalkan perusahaan untuk mengupah murah pekerjanya, bahkan mem-PHK mereka. UU Minerba juga jelas-jelas memihak korporasi untuk makin menguasai kekayaan yang sejatinya milik rakyat. Dua kebijakan ini saja sudah merugikan rakyat kecil yang kemudian makin menambah angka kemiskinan. Akhirnya, akibat kemiskinan, suburlah tindak kriminal, termasuk penculikan anak.

Belum lagi kebijakan lain terkait perlindungan anak. Payung hukum memang telah ada, hanya saja, sanksinya sangat tidak menjerakan. Pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga tahun, serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. Bagaimana bisa sanksi begini bikin pelaku.

Menurut Islam, negara harus berada di garis terdepan untuk melindungi rakyatnya, terlebih pada generasi sebab mereka adalah mutiara umat yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Negara akan melindungi mereka dari segala macam mara bahaya. Mereka akan dididik dengan pemahaman akidah Islam, baik di sekolah maupun rumah. Mereka pun akan dijauhkan dari pemahaman kufur, seperti budaya liberal.

Negara juga akan memberikan sanksi yang menjerakan, termasuk pada pelaku penculikan. Hukuman bagi pelaku penculikan adalah takzir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh Khalifah. Hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah kisas, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya.

Selain melindungi, negara akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Sandang, pangan, dan papan, serta kesehatan, keamanan, dan pendidikan, semua akan dijamin oleh negara.

Oleh karenanya, kasus penculikan anak akan selesai jika syariat Islam diterapkan dalam sistem kehidupan umat. Sistem pemerintahan Islam akan bersungguh-sungguh dalam menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang aman sentosa. Tindak kriminal pun akan minim, bahkan hilang sama sekali. Wallahu’alam.

Iklan
Iklan