Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Karhutla, Mengapa Terus Berulang?

×

Karhutla, Mengapa Terus Berulang?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Gita Pebrina Ramadhana, S.Pd, M.Pd
Pemerhati Masalah Pendidikan dan Remaja

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali terulang. Tepatnya di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan hingga hari Jumat (25/8). Menurut data akumulasi karhutla yang dilaporkan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Selatan, Pormadi Dharma, luas wilayah yang terbakar telah mencapai 1.978 hektar. https://bnpb.go.id/berita/karhutla-di-kalsel-dan-kalteng-masih-terjadi-upaya-pemadaman-hingga-gakkum-terus-dilakukan)

Baca Koran

Kemudian di Hulu Sungai Selatan, menurut Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) HSS, Kusairi, sejak ditetapkannya status siaga bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan penurunan produksi pangan di Kabupaten HSS mulai 15 Mei tadi sampai 30 Agustus berdasarkan data lahan yang terbakar akibat Karhutla dapat ditangani pihaknya sudah mencapai 60 hektare lebih. Kusairi meminta aparat kepolisian menindak tegas bagi siapapun yang kedapatan dengan sengaja membakar lahan seperti yang pernah terjadi di Kecamatan Daha Barat. (https://kalsel.prokal.co/read/news/50785-61303-hektare-lahan-di-hss-terbakar-paling-banyak-di-kecamatan-daha.html)

Terus Berulang, Seriuskah

Berdasarkan analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebanyak 7.857 titik panas (hotspot) terdeteksi sepanjang Juni 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.080 titik panas berada di area korporasi dari konsesi hak guna usaha (HGU) sawit, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA), dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI).

Walhi juga mencatat, karhutla masih terjadi di beberapa wilayah pemegang konsesi yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Dari lima wilayah tersebut, sebanyak 15 titik panas ditemukan di Riau, 54 titik panas di Jambi, 7 titik panas di Sumsel, 9 titik panas di Kalbar, dan 8 titik panas di Kalteng.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengatakan sampai sekarang pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, tidak pernah mengevaluasi perizinan untuk seluruh pemegang HGU sawit. Padahal, fakta selama ini menunjukkan titik panas ataupun karhutla pada 2015 dan 2019 banyak terjadi di konsesi HGU.

Baca Juga :  Menolak "Pikun" Kecurangan Pemilu

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang melakukan evaluasi dan mencabut sejumlah perizinan. Namun, aspek karhutla tidak diletakkan sebagai salah satu indikator penting pada saat proses evaluasi dan pencabutan izin tersebut.

Dari sini sudah terlihat bahwa akibat karhutla beulang bukan hanya faktor cuaca, karhutla yang berulang nyatanya lebih disebabkan karena unsur kesengajaan perusahaan/korporasi membakar hutan dan lahan. Dari aspek ini saja, kita patut mempertanyakan apakah pemerintah benar-benar serius untuk mengatasi karhutla?

Karhutla adalah dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi.

Pada mulanya, terbitnya UU tersebut diperuntukkan agar sumber daya hutan memiliki peran memutar roda perekonomian tetapi ujungnya, hutan Indonesia digarong korporasi dengan eksploitasi serampangan yang memunculkan banyak konflik sosial dan bencana ekologis. Puluhan tahun UU ini berjalan tanpa ada upaya lebih dari pemerintah untuk menyelesaikan dampak terhadap penerapannya.

Bagi para kapitalis, pembakaran hutan adalah cara termurah dan hemat biaya untuk membuka lahan baru meski dampak kerusakan lingkungan ada di depan mata. Mereka tidak akan peduli perbuatan ini akan merusak lingkungan dan masyarakat terkena getahnya akibat kepulan asap hasil karhutla. Keserakahan kapitalis dan produk hukum berasas ideologi kapitalismelah sesungguhnya bencana besar bagi negeri ini.

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap para penggarong hutan tampak tumpul. Bisa dilihat, begitu keras upaya pemerintah menuntut pihak korporasi hingga melakukan upaya hukum banding kepada perusahaan. Negara begitu lemah dan tidak berdaya melawan korporasi, padahal perencanaan terhadap hutan sejatinya dimulai dari kebijakan penguasa yang terus menyokong demi kepentingan korporasi melalui konsesi hutan. 

Pada dasarnya, hutan adalah salah satu SDA milik umum. Namun, kapitalisme mengubah paradigma tersebut dengan menganggap hutan sebagai SDA yang boleh dikelola secara bebas oleh swasta atau individu. Alhasil, selama seseorang memiliki modal dan kekuasaan, ia berhak memiliki apa pun, termasuk harta milik umum, seperti tambang, hutan, dsb.

Baca Juga :  YAHYA

Islam Solusi Karhutla

Akibat sistem kapitalisme inilah, kesalahan dalam pengelolaan hutan terus berlangsung. Ini jelas berbanding terbalik dengan perspektif Islam. Nabi saw. Pernah bersabda bahwa manusia itu berserikat pada tiga hal, yaitu air, padang gembalaan dan api (HR Imam Ahmad). 

Hadis tersebut tidak disebutkan secara eksplisit tentang hutan, tetapi syariat tidak membatasi pada tiga aspek tersebut. Hutan adalah kepemilikan umum yang berarti tidak boleh dikuasai individu. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya.

Negara tidak boleh memberi hak pengelolaan kepada swasta, tetapi negara boleh mempekerjakan swasta untuk pengelolaan hutan. Akad yang berlaku ialah akad kerja, bukan kontrak karya.

Adapun dalam aspek pengelolaan lahan, kembali pada hukum kepemilikan lahan. Setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati.

Negara akan terus mengembangkan kemajuan iptek di bidang kehutanan supaya pengelolaan hutan dan lahan terus dioptimalkan sebaik mungkin tanpa harus mengganggu dan merusak ekosistem. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera.

Inilah islam yang memberi solusi untuk atasi karhutla. Ketaatan dan ketundukan pada hukum Allah Taala akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi negeri ini. Dengan penerapan sistem Islam kafah dalam naungan Khilafah inilah kemaslahatan dan kebermanfaatan bagi seluruh umat akan didapat.

Iklan
Iklan