Oleh : Sanya Dinda Susanti
Pemerhati Ekonomi
Pada tahun 2022, berbagai negara telah mulai pulih dari dampak Covid-19. Akan tetapi, tantangan lain menghampiri. Perang Rusia-Ukraina serta lockdown yang masih dilakukan di sejumlah negara termasuk China, kembali mendisrupsi rantai pasok global.
Harga-harga komoditas energi dan pangan dunia pun mengalami lonjakan. Inflasi terjadi di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, yang didera inflasi hingga 8,3 persen secara tahunan pada Agustus 2022.
Indonesia pun terdampak kenaikan harga komoditas dunia. Pada Agustus 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi secara tahunan mencapai 4,69 persen secara tahunan.
Di tengah lonjakan harga komoditas energi dan pangan, pemerintah tidak bisa terus memberikan kompensasi dan subsidi bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat. Apalagi pada 2023, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mesti dikembalikan ke bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Akhirnya pada 3 September2022 siang, pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, yakni Pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Ekonom Indef Dhenny Yuartha Junifta memperkirakan inflasi 2022 bisa mencapai 8,79 persen. Pasalnya setiap kenaikan harga BBM sebesar 1 persen diperkirakan akan meningkatkan indeks harga konsumen (IHK) hingga 0,12 persen.
Perkuat Peran Daerah
Untuk mengendalikan inflasi, pemerintah melakukan berbagai cara, termasuk mendorong penguatan kerja sama antardaerah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta seluruh pemerintah daerah melakukan pendataan terhadap komoditas pangan. Daerah yang mengalami surplus komoditas bisa mendistribusikan sebagian pasokan ke daerah yang mengalami kekurangan.
Di samping itu, pemerintah daerah diminta melaksanakan operasi pasar guna memastikan tiada oknum yang memanfaatkan situasi sehingga harga pangan tetap terjangkau oleh masyarakat.
Sinergi Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) juga diperkuat melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) untuk mempercepat stabilisasi harga.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134 Tahun 2022 tentang Belanja Wajib dalam rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022, pemerintah daerah diwajibkan menggunakan setidaknya 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU) untuk memitigasi dampak inflasi.
Namun, berbagai langkah yang telah disiapkan tersebut tidak dapat terlaksana optimal apabila pemerintah daerah tidak mempercepat penyaluran anggaran pengendalian inflasi.
Penyerapan Anggaran Daerah
Kenaikan inflasi memang menjadi masalah serius yang harus diatasi pemerintah demi menjaga daya beli masyarakat, terutama setelah ada penaikan harga BBM bersubsidi yang bakal diikuti dengan penyesuaian harga barang dan jasa.
Untuk itu, Kementerian Keuangan telah menelurkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 140 Tahun 2022 tentang Dana insentif Daerah (DID) untuk penghargaan Kinerja Tahun Berjalan pada Tahun 2022.
Kementerian Keuangan pun memberikan DID khusus bagi 40 daerah yang berhasil mengendalikan inflasi, yang terdiri atas 10 pemerintah provinsi, 15 pemerintah kabupaten, dan 15 pemerintah kota
Kesepuluh pemerintah provinsi tersebut yakni Kalimantan Barat yang diberi penghargaan berupa DID sebesar Rp10,83 miliar, Bangka Belitung Rp10,81 miliar, Papua Barat Rp10,75 miliar, Sulawesi Tenggara Rp10,44 miliar, serta Kalimantan Timur dan Yogyakarta masing-masing Rp10,41 miliar.
Kemudian Provinsi Banten senilai Rp10,37 miliar, Jawa Timur dan Bengkulu masing-masing Rp10,33 miliar, serta Sumatera Selatan Rp10,32 miliar.
Adapun 15 kabupaten yang mendapat hadiah karena telah berkinerja baik dalam menekan angka inflasi, yakni Belitung sebesar Rp10,88 miliar, Tabalong Rp10,68 miliar, Sintang Rp10,66 miliar, Merauke Rp10,53 miliar, Kotawaringin Timur Rp10,53 miliar, serta Banyumas Rp10,47 miliar.
Kabupaten Bulukumba juga mendapat DID senilai Rp10,46 miliar, Cilacap, Sumba Timur, dan Sumenep masing-masing Rp10,44 miliar, Kudus Rp10,42 miliar, Manokwari Rp10,41 miliar, Banyuwangi Rp10,4 miliar, Indragiri Hilir Rp10,38 miliar, dan Jember Rp10,36 miliar.
Terdapat pula 15 kota yang mendapat DID atas kerja keras melawan inflasi, yaitu Singkawang senilai Rp10,91 miliar, Sorong Rp10,66 miliar, Tual Rp10,62 miliar, Pontianak Rp10,6 miliar, Pangkalpinang Rp10,54 miliar, serta Lhokseumawe Rp10,47 miliar.
Lalu, Kota Kendari Rp10,45 miliar, Kota Pematang Siantar Rp10,44 miliar, Parepare dan Probolinggo masing-masing Rp10,42 miliar, Balikpapan, Metro, dan Samarinda masing-masing Rp10,4 miliar, serta Tasikmalaya Rp10,39 miliar.
Sementara, untuk menjamin efektifitas dan efisiensi penggunaan DID, pemda wajib menyampaikan rencana penggunaan paling lambat pada bulan Oktober tahun 2022 dan laporan realisasi penyerapan paling lambat bulan Juni tahun 2023, serta terdapat pengawasan oleh aparat pengawas fungsional.
Apabila pemda tidak menyampaikan laporan, pemerintah dapat mengenakan sanksi berupa penundaan penyaluran DAU dan DBH selanjutnya.
Ekonom Bhima Yudhistira menganggap penting kehadiran DID agar pemda fokus menurunkan harga pangan. Namun, beberapa hal seperti teknis rancangan program setiap daerah perlu menjadi perhatian.
Kesiapan SDM di tingkat pemda yang fokus untuk mengatasi masalah inflasi, data pangan, pelaku pertanian termasuk distributor pangan yang berintegritas, dan kehadiran BUMD sebagai garda terdepan untuk memangkas distribusi pangan, juga perlu jadi perhatian.
Kalau prasyarat tersebut dipenuhi, DID bisa lebih efektif mengurangi tekanan harga pangan di daerah. Tentunya inflasi kali ini tidak bisa hanya mengandalkan upaya dari Pemerintah Pusat. Sinergi Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah dan sinergi antardaerah diperlukan agar Indonesia bisa selamat dari tekanan inflasi.