Oleh : AHMAD BARJIE B
Sejak Islam hadir pertama kali 14 abad silam, kehidupan masyarakat sangat diwarnai pluralisme. Dalam periode Makkah, Nabi Muhammad SAW berhadapan dengan penganut Kristen, agama Hanif dan Paganisme, serta sejumlah suku, kabilah dan banu yang beragam. Begitu pula periode Madinah, keragaman itu masih menonjol ditambah banyaknya penganut Yahudi di kota itu.
Periode sesudahnya juga demikian, yaitu era Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasyah, Andalusia, Turki Usmani, Kesultanan Moghul, Kesultanan Delhi dan sebagainya. Dua Kesultanan yang disebut terakhir berpusat di India di mana Islam pernah berkuasa di tengah penduduknya yang mayoritas Hindu dan Budha.
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah (1403 H, 3: 5) menyatakan ada empat konsep ajaran Islam dalam kehidupan pluralistik, yaitu hubungan ta’aruf (saling mengenal), ta’awun (saling menolong), birr (saling berbuat baik) dan a’dl (saling berlaku adil). Lihat QS al-Hujuran: 13, al-Ma’idah: 2 dan Mumtahanah: 8).
Dalam pergaulan dengan masyarakat nonmuslim lebih diprioritaskan lagi, sebab di sinilah esensi pluralisme. Islam dalam hal ini mengajarkan konsep musalamah (mengajak damai), mu’asyarah al-jamilah (bergaul dengan baik) mu’amalah bil husna (bermasyarakat dengan baik), tabadulul maslahah (saling menguntungkan) serta ta’awun. Antara orang Islam dengan nonmuslim, hak dan kewajiban diatur sama, tak ada diskriminasi dan dominasi. Apabila pihak Islam diberi kepercayaan memimpin, maka sifatnya adalah menghormati, melindungi dan memberdayakan pihak yang dilindungi.
Golongan nonmuslim yang dalam hal ini diistilahkan ahliz-zimmi mendapat perlindungan yang sifatnya permanen dan kontinyu, sepanjang mereka berada dalam ketaatan dan menyerang orang Islam. Jika ahliz-zimmi diganggu, maka orang Islam wajib melindungi sampai kepada tahap berperang sekalipun. Di sini konsep perang dalam Islam tidak semata mempertahankan agama, tapi juga melindungi pemeluk agama yang berbeda yang bernaung di wilayahnya.
Dalam pergaulan sehari-hari, pemerintah dan masyarakat Islam memiliki beberapa nilai luhur yang mesti dipenuhi. Ada delapan nilai atau prinsip yang ditekankan: Pertama, tidak boleh memaksa seseorang meninggalkan agama atau menganut ideologi tertentu (al- Baqarah: 256). Di sini berlaku kebebasan dalam beragama. Manusia tidak diberi wewenang untuk memaksa manusia lainnya. Tuhan saja tidak menghendaki pemaksaan, sebab jika Dia menghendaki tentu sudah beriman semua manusia di bumi (Yunus: 99). Memang sesuai dengan sifatnya sebagai agama dakwah, Islam mewajibkan umatnya berdakwah (Ali Imran:104, 110), namun caranya harus bijaksana dan tidak memaksa, karena kunci akhir ada pada petunjuk Allah (An-Nahl: 125).
Kedua, penganut agama lain (Ahl al-Kitab) diberi hak melaksanakan syiar agama mereka. Untuk itu gereja-gereja, sinagog dan lain-lain, tidak boleh dirusak, salib dan simbol-simbol agama tidak boleh dipatahkan. Bila kebetulan suami punya istri beragama Yahudi atau Kristen (hukum asalnya memboleh pria muslim kawin dengan wanita Ahl al-Kitab), maka ia dipersilakan beribadah ke Sinangog atau gereja. Suami tidak boleh melarang. Dalam banyak peperangan yang terpaksa dilakukan umat Islam, tidak pernah terjadi pengrusakan tempat ibadah agama lain.
Ketiga, Islam membolehkan apa-apa yang dibolehkan agama lain untuk memakan atau memakainya. Di sini Islam lebih memberi kelonggaran yang diberikan kepada umat Islam sendiri.
Keempat, mereka diberi kebebasan dalam perkawinan, perceraian, nafkah dan aturan-aturan lain.
Kelima, Islam menjaga harga diri dan hak mereka. Maksudnya golongan nonmuslim bebas berdiskusi dan berdebat dengan batas-batas yang sopan dan logis, baik intern mereka maupun dengan kaum muslimin sendiri. Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dikemukakan Husain Mohammad Haekal dalam Hayatu Muhammad, pernah pula berdiskusi panjang lebar dengan kaum Nasrani Najran. Apabila kebenaran ditemukan, lawan diskusi pun boleh saja tidak menerimanya mengingat harga dirinya. Ketika itu Abu Haritha, tokoh Najran yang paling mendalam ilmunya, menyatakan isi hatinya akan kebenaran Muhammad. Seorang temannya menanyakan kepadanya: Apalagi yang merintangimu menerima ajarannya (Islam)? Jawabnya: yang merintangiku adalah kedudukan, harta dan kehormatanku. Jika aku masuk Islam, aku takut kehilangan semua itu. Nabi pun tidak keberatan dengan alasan itu, sehingga mereka tidak menerima Islam. Justru sikap Nabi ini membuat mereka meminta agar seorang sahabat Nabi, yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah, diutus ke negeri mereka (Najran) guna menengahi berbagai konflik intern yang masih terjadi.
Keenam, dalam masalah waris Islam menyamakan mereka dengan kaum muslimin. Orang zimmi tidak mewarisi kerabatnya yang muslim, dan orang muslim pun tidak mewarisi kerabatnya yang zimmi. Ketujuh, Islam menghalalkan makanan sembelihan mereka, dan menikahi wanita dari kalangan mereka, sepanjang wanita itu shalehah dan atau makanan dimaksud tidak termasuk kategori makanan yang diharamkan dalam Islam.
Kedelapan, Islam membudayakan saling menghormati dan mengunjungi dalam kehidupan sehari-hari, menjenguk yang sakit, saling memberi hadiah, kado atau bingkisan, berjual beli dan bentuk muamalah lainnya. Wallahu A’lam.