Oleh : Adzkia Mufidah, S.Pd
Pemerhati Generasi Muda
Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri. Namun, sayang nya di era globalisasi dan modernisasi saat ini, remaja yang tengah mencari jati dirinya malah terjerumus ke hal-hal negatif, seperti tindak asusila, kekerasan dan atau tindak kriminal.
Kita pun dibuat ngeri dengan banyaknya berita kekerasan yang dilakukan oleh pemuda- berseleweran di media sosial. Seperti kasus yang terjadi di Purwakarta, dimana lima orang pemuda melakukan pencurian disertai dengan kekerasan. Mereka tercatat masih berstatus siswa SMK di Purwakarta. Kelima pemuda ini mencoba merampas ponsel korban setelah sebelumnya membacok punggung korban dengan celurit (jurnalpolr.com, 22-2-2023).
Juga kasus penganiayaan Mario Dandy Satriyo (20) terhadap Cristalino David Ozora (17). (cnnindonesia.com, 25-2-2023). Dan kasus pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP berumur 14 tahun di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Korban meninggal setelah diperkosa beberapa temannya yang juga masih berusia 15 tahun (kompas.com, 25-2-2023).
Mengapa tindak kekerasan marak menjangkiti anak-anak muda di Indonesia?
Stanley Hall menyebut masa remaja sebagai masa “storm and stress” sehingga rawan terjadi konflik dengan teman sebaya. Karena itu sebagian orang kadang menganggap kenakalan remaja sebagai hal yang biasa. Bahwa itu bagian dari gejolak jiwa muda.
Pertanyaannya benarkah kekerasan pada remaja semata karena gejolak jiwa muda?
Jika dicermati, persoalannya jelas bukan sekadar itu. Banyak hal yang menjadi penyebab timbulnya fenomena ini. Mulai dari lemahnya peran keluarga dan masyarakat, hingga abainya negara.
Saat ini keluarga yang seharusnya menanamkan nilai-nilai agama, justru absen dari hal itu. Selain itu, tidak sedikit orang tua yang menitipkan anaknya untuk diasuh oleh pihak lain dengan alasan orang tuanya sibuk bekerja. Jadilah urusan mendidik anak hanya mengandalkan pihak sekolah. Padahal kehadiran orang tua justru sangat dibutuhkan anak sebagai sandaran dan teladan bagi mereka. Akibatnya, lahirlah generasi motherless dan fatherless yang galau. Terkadang kegalauan para pemuda ini mendorong mereka untuk memperoleh pengakuan terhadap eksistensi dirinya dengan berbuat kriminal.
Di samping itu, fenomena kekerasan oleh pemuda juga menunjukkan mandulnya peran negara. Dari sisi pendidikan, negara saat ini terbukti gagal dalam membentuk anak didik yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Pendidikan dari orang tua dan institusi seperti sekolah seharusnya menjadi tempat untuk mendidik anak-anak muda agar dekat dengan agama, karena nilai-nilai agama-lah yang akan menjadi control dan ‘rem’ mereka dalam menyalurkan gharizhah baqa’ tersebut.
Sayangnya, pendidikan sekuler-lah yang diambil untuk membentuk kepribadian anak muda saat ini. Sekularisasi pendidikan masif terjadi. Islam kian dijauhkan dari kurikulum pendidikan. Slogan revolusi mental dan merdeka belajar nyatanya gagal membawa pemuda menemukan jati dirinya yang hakiki. Alhasil, out put pendidikan meterialistik semata, jauh dari nilai-nilai Islam.
Lebih dari itu, negara juga gagal melindungi generasi dari pengaruh buruk media. Negara lemah dalam mengontrol media, dan membiarkan ide-ide batil seperti liberalisme, pluralism menjangkiti generasi muda. Negara bahkan hanya diam saat budaya luar atau gaya hidup yang merusak dijajakan lewat media ke generasi muda. Ini dapat dilihat dari banyaknya konten media yang tidak mendidik/jauh dari mencerdaskan seperti tayangan atau tontonan yang mengandung perkelahian, kekerasan, pornografi, dan lain-lain.
Kita juga bisa melihat bagaimana generasi saat ini disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang melalaikan mereka seperti dengan game online dan permainan lain yang ada dalam genggaman mereka. Ini mengakibatkan lemahnya mental mereka dan juga membuat emosi yang tidak terkendali.
Semua itu, lambat laun bisa menjadi penyebab timbul dan berkembangnya kekerasan di tengah generasi muda saat ini. Segala permasalahan dianggap bisa selesai dengan cara kekerasan, tidak peduli dengan siapa mereka melakukan kekerasan tersebut selama emosinya dan amarahnya terpuaskan itu menjadi tidak masalah.
Jebolnya benteng keluarga, lemahnya kontrol sosial dan tidak adanya manajemen dari negara membuat generasi muda saat ini berjalan tanpa arah. Berperilaku tanpa melihat resiko dan akibat yang mereka timbulkan. Kriminalitas pun merajalela.
Ketika budaya kekerasan sudah memakan banyak korban, pemerintah pun kelimpungan mencari solusi. Mirisnya, upaya pemberian sanksi justru mentok pada batasan umur anak yang sampai 18 tahun. Akibatnya, remaja pelaku kekerasan tidak bisa diberi sanksi tegas, padahal mereka sudah balig.
Semua itu adalah buah dari kehidupan yang berdasar sekulerisme, yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan akal manusia sebagai penentu segala sesuatu.
Sungguh Islam menaruh perhatian lebih dalam pendidikan generasi muda sebagai penerus perjuangan. Dalam Islam, masa remaja adalah masa yang istimewa, pada masa ini para pemuda mulai mencari jati dirinya masing-masing dan menentukan perannya di masyarakat. Di sinilah pentingnya peran keluarga.
Pendidikan dalam keluarga menjadi dasar atau pondasi bagi anak. Oleh karenanya, didikan keluarga akan syariat Islam merupakan benteng awal yang mencegah pemuda berbuat kekerasan.
Selain keluarga, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengontrol anggotanya agar tidak melanggar syari’at. Peran yang lebih besar tentu ada pada negara. Negara wajib menjaga individu dan menaungi masyarakat agar tetap taat dan bertaqwa kepada Allah SWT. Misalnya melalui penerapan sistem pendidikan, sistem pergaulan dan sistem sangsi yang benar (sesuai Islam).
Dalam sistem pendidikan Islam, asas pendidikan, prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan bersifat tetap yakni wajib berdasarkan aqidah Islam. Dengan sistem pendidikan seperti ini akan terbentuk sumber daya manusia (SDM) unggul terdidik dengan pola fikir dan pola sikap yang islami. Pendidikan dalam Islam diarahkan pada pengembangan keimanan pada generasi, sehingga melahirkan generasi yang beriman dan beramal saleh serta berilmu yang memberi manfaat bagi sesama. Karenanya dalam Islam yang menjadi pokok perhatian adalah kualitas pendidikan. Keteladanan orangtua atau keluarga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan.
Negara dalam Islam betul-betul menjadikan pendidikan sebagai pelayanan dengan kualitas terbaik dan merata sebagai jalan untuk mencerdaskan generasi yang menghamba hanya kepada Ilahi Rabbi. Untuk mewujudkan itu, negara dalam Islam wajib menjamin seluruh sarana prasarana, fasilitas dan biaya pendidikan disemua jenjang pendidikan dan tidak membebankan biaya pendidikan kepada rakyat.
Sistem Pendidikan seperti ini akan melahirkan generasi atau pemuda yang amal perbuatannya senantiasa berlandaskan pada hukum syara sehingga membawa kebaikan dan manfaat bagi sesama. Mereka dengan sadar akan menjauhi maksiat karena dorongan takwa.
Begitulah kondisi pemuda di zaman Rasulullah SAW dan di zaman ketika Islam memimpin sebuah peradaban. Diantara pemuda tersebut ada Usamah bin Zayid, salah satu pemuda yang menjadi orang kepercayaan Rasulullah SAW dan dipercaya untuk memimpin pasukan perang padahal usianya masih muda. Bahkan puluhan abad setelah Rasulullah wafat, di negera yang menerapkan Islam, bermunculan para pemuda pemimpin peradaban. Seperti Sultan Al Fatih yang mampu menaklukan konstantinopel di usia 21 tahun, memimpin pasukan dan mengatur strategi sehingga konstantinopel- negara adidaya saat itu mampu ditaklukkan.
Contoh di atas menunjukan perbedaan mental yang dibentuk dan dihasilkan ketika sistem Islam diterapkan, dijadikan sumber hukum dalam mengatur segala aspek kehidupan. Generasi mudanya adalah generasi yang bertakwa, produktif, yang bermanfaat dan menciptakan peradaban yang terbaik. Wallahu’alam.