Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Bakumpai

×

Penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Bakumpai

Sebarkan artikel ini

Oleh : Rofi Zarzaida
Wartawan Senior, Wirausaha, Konsultab PR & Brand Management, Aktivis Bidang Pangan & Pertanian

Pada 22 Februari 2023 lalu dilakukan penandatanganan nota kesepahaman kerjasama (MoU) antara Pengurus Daerah Kerukunan Keluarga Bakumpai (PD-KKB) dengan Balai Bahasa Kalteng, IAIN Palangka Raya, dan Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Kalteng tentang Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Dayak Bakumpai. MoU ini dilakukan saat acara Syukuran KKB yang ke-70 tahun, di aula Masjid Darussalam Palangka Raya, sekaligus peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW, yang dihadiri Ketua Umum KKB Pusat Abdi Nur Sulaiman HB, Ketua KKB Kalteng Suriansyah Murhaini, Sekda Kalteng Noryakin dan lainnya.

Baca Koran

Dua tahun lalu telah pula dilakukan penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa Banjar, saat ini edisi penerbitannya, baik cetak maupun online, mulai tersebar di masyarakat. Instansi pemerintah, SKPD, sekolah-sekolah, madrasah, pondok pesntren, masjid, langgar, organisasi dan lembaga-lembaga kemasyarakatan serta masyarakat luas tentu perlu memilikinya, agar dapat lebih memahami kitab suci Al-Qur’an dengan pendekatan kebahasaan daerah, dalam hal ini bahasa Banjar.

Apabila penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa Bakumpai terwujud, berarti semakin bertambah Al-Qur’an Terjemah dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Menurut Dr Hj Fachriaty cs dari Badan Litbang Kementerian Agama RI, hingga saat ini sudah 15 bahasa daerah yang dijadikan terjemahan Al-Qur’an. Pembagiannya mencakup tiga zona, wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat. Wilayah Timur diwakili bahasa Bugis, Makassar, Toraja, Bulaang Mongondow dan Ambon. Wilayah Tengah diwakili bahasa Banjar, Dayak Kanayan, Sasak, Bali dan Jawa Banyumas. Wilayah Barat diwakili bahasa Minang, Batak dan Aceh. Kita menyambut baik, karena semakin banyak bahasa daerah beroleh prioritas utama dijadikan terjemahan Al-Qur’an.

Masih Terbatas

Penerjemahan Alquran ke bahasa-bahasa daerah oleh Kementerian Agama RI tentu masih terbatas, hal ini disebabkan keterbatasan dana, dan tentunya juga kurangnya tenaga ahli. Karena itu inisiatif menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa-bahasa daerah, lebih efektif jika dilakukan oleh pemilik atau pengguna bahasa daerah itu sendiri.

Apa yang ingin dilakukan oleh bubuhan Bakumpai patut kita dukung dan apresiasi. Apalagi bahasa Bakumpai hingga saat ini masih digunakan oleh banyak penduduk, tidak hanya di Kalimantan Selatan seperti di Kabupaten Barito Kuala, juga di beberapa kabupaten lain di Kalimantan Tengah seperti Kapuas, Barito Utara, Barito Selatan, Murung Raya, Barito Timur dan banyak lagi.

Baca Juga :  Safari Ramadhan : Tali Rasa dan Ekonomi Indonesia Sejahtera

Bahasa Bakumpai memiliki ciri khas tersendiri, yang cukup berbeda dengan bahasa Banjar dan bahasa Dayak umumnya. Kosa katanya cukup menarik dan variatif, dari situ kita patut berbangga, karena orang-orang dahulu mampu menciptakan ragam budaya termasuk bahasa-bahasa daerah secara kreatif. Jadi relevan sekiranya ada Al-Qur’an Terjemah Bahasa Bakumpai. Selain dikonsumsi masyarakat Bakumpai sendiri, juga dapat dipelajari oleh masyarakat lain yang berminat terhadap bahasa-bahasa daerah.

Multifungsi

Penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa Bakumpai, setidaknya mengandung dua fungsi penting. Pertama fungsi dakwah. Masyarakat Bakumpai menurut para sejarawan adalah transformasi dari sebagian suku Dayak Ngaju (Biaju) yang menjadi muslim di masa-masa permulaan. Mereka boleh dikatakan menjadi penganut Islam paling awal dan sekaligus pendukung dakwah yang dirintis oleh Sultan Suriansyah. Bahkan sebelum itu orang Bakumpai sudah ada yang beragama Islam, sebab sebelum adanya pelabuhan di Banjarmasin, justru pelabuhan Muara Bahan (Marabahan) banyak dikunjungi pedagang muslim dari berbagai daerah dan mancanegara.

Datu Darta Suta, salahseorang ayah angkat Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah), setelah masuk Islam sangat gigih mendakwahkan Islam di kalangan masyarakat Bakumpai di sepanjang sungai Barito, sehingga dakwah Islam makin tersebar luas. Menurut Sultan Khairul Saleh, setelah Pangeran Samudra diangkat menjadi Sultan Banjar, ia menghadiahkan keris “raja tumpang” kepada Datu Darta Suta yang telah berjasa memfasilitasi dirinya menumpang hidup dalam perlarian. Hingga sekarang keris “raja tumpang” menjadi lambang Kabupaten Barito Kuala.

Pendekatan dakwah secara struktural dilakukan oleh Raden Sira Panji Kusuma, putra Pangeran Sekar Sungsang. Namun ada versi mengatakan, Raden Sira Panji Kusuma adalah putra Sultan Suriansyah, hasil perkawinan dengan perempuan Bakumpai. Raden Sira diduga pernah bertemu dengan Sunan Giri dan Sunan Bonang di Bandar Muara Bahan, ketika kedua ulama Walisongo itu menemui Pangeran Sekar Sungsang penguasa Negara Daha yang notabene pernah menjadi murid mereka di Surabaya dan Giri, sebagai anak angkat Juragan Balaba dan besan Sunan Giri. Menurut Yusliani Noor (2016), ini alasan sejarawan Banjar mengatakan Pangeran Sekar Sungsang sudah muslim, namun tidak tegas meresmikan keyakinannya.

Baca Juga :  Dakwah dengan Perbaikan

Raden Sira Panji Kusuma tinggal di Rantauan Bakumpai. Setelah memeluk Islam ia pun giat mendakwahkan Islam. Masyarakat Bakumpai yang berprofesi sebagai pedagang, selanjutnya menyiarkan Islam lebih ke pedalaman lagi seperti ke Teweh, Puruk Cahu, Kapuas, Katingan-Kasongan, Tumbang Samba, Sampit dan seterusnya di sepanjang sungai Barito, sungai Katingan, Kahayan, Mentaya dan seterusnya. Belakangan dakwah di kalangan masyarakat Bakumpai semakin intensif saat Datu Abdussamad, keturunan Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari), aktif berdakwah di kawasan ini. Beliau juga menggunakan bahasa Bakumpai, dengan pendekatan tasawuf dan kultural. Jadi, sebagai pemeluk Islam paling awal di Kalimantan, wajar masyarakat Bakumpai juga memiliki Terjemah Alquran dengan bahasa mereka sendiri.

Kedua, fungsi kebahasaan di daerah. Sekarang eksistensi bahasa-bahasa daerah sebagian sudah berada dalam lampu kuning keprihatinan. Menurut UNESCO, sampai tahun 2022, tercatat 200 buah bahasa daerah di dunia yang sudah hilang atau punah tergerus arus zaman. Padahal satu kata saja yang hilang dalam khazanah bahasa daerah, kita kehilangan satu peradaban. Rudy Ariffin dalam sambutannya di acara Kongres Budaya Banjar VI yang lalu menyatakan, hilangnya suatu suku diawali dengan hilangnya bahasa dan budaya.

Balai Bahasa Kalsel menyarankan agar di tengah era globalisasi sekarang, semua pihak hendaknya tetap menegakkan Trigatra Bahasa, yaitu memahami dan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing. Artinya, di saat kita menguasai bahasa Indonesia atau bahasa asing, pada saat yang sama bahasa daerah tetap harus kita gunakan secara proporsional sesuai situasi dan kebutuhan. Bahasa-bahasa daerah sangat perlu dibuatkan kamusnya, karena dengan ditulis bahasa tersebut akan tetap eksis dan terwariskan dari generasi ke generasi. Ketika suatu bahasa lokal/daerah menjadi bahasa terjemah Al-Qur’an, bahasa tersebut akan terhindar dari kepunahan, bahkan tetap bertahan, hidup, aktual dan kontekstual. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan